Sunday, December 14, 2025

Kantor Pajak Bisa Intip Properti Luar Negeri para Konglomerat

Langkah pemerintah Indonesia dalam tergabung Joint Statement dalam aturan OECD mengenai pertukaran otomatis informasi kepemilikan dan transakti properti disambut positif oleh kalangan pemerhati pajak.

Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute, Ariawan Rahmat menjelaskan bahwa perkembangan teknologi telah mengubah properti dari aset fisik yang terkunci geografis menjadi instrumen investasi global yang bergerak lintas yurisdiksi.

Menurutnya, kehadiran berbagai platform digital seperti property marketplace internasional, layanan notaris digital, hingga penggunaan special purpose vehicle (SPV) telah membuat transaksi properti lintas negara berlangsung semakin cepat dan efisien.

Namun di sisi lain, kemudahan ini sering kali minim friksi regulasi antar negeri sehingga banyak titik pengawasan negara yang terlewati atau tidak saling terhubung.

Dengan begitu, pembelian properti kini bisa dilakukan tanpa kehadiran fisik pembeli, dokumen ditandatangani secara digital, dan kepemilikan dipegang oleh entitas perantara.

"Friksi yang seharusnya berfungsi sebagai gerbang pemeriksaan pajak menjadi hilang. Negara sulit melacak siapa beli apa, lewat mana dan di mana, dan harusnya bayar berapa," ujar Ariawan kepada Kontan.co.id, Minggu (14/12/2025).

Ia menambahkan, meski platform digital tersebut tidak selalu menjual properti secara langsung, perannya sangat signifikan karena menyediakan listing lintas negara serta menghubungkan pembeli, penjual, agen, perbankan, hingga penasihat hukum.

Bahkan, sebagian platform mampu memfasilitasi pembayaran, due diligence, hingga pengelolaan pasca-akuisisi.

Dalam konteks ini, Automatic Exchange of Information (AEoI) dipandang krusial untuk mendorong transparansi data guna meminimalisasi praktik yang berpotensi merugikan penerimaan negara.

Ariawan menegaskan, pentingnya Joint Statement AEoI semakin nyata di era kemudahan transaksi lintas batas.

Rezim perpajakan nasional yang hanya mengandalkan pelaporan domestik dinilai sudah tidak relevan.

Tanpa pertukaran data internasional, otoritas pajak kehilangan visibilitas atas economic ownership dan beneficial ownership properti yang secara ekonomi terkait dengan wajib pajak dalam negeri.

Meski demikian, ia menilai potensi tambahan penerimaan pajak dari implementasi AEoI properti tidak bersifat instan.

Dampaknya lebih terasa dalam jangka menengah hingga panjang, antara lain melalui terungkapnya aset properti luar negeri milik orang pribadi, khususnya kelompok High Net Worth Individuals (HNWI) dan profesional global.

Selain itu, pajak atas penghasilan pasif seperti sewa, capital gain, dan pendapatan terkait properti luar negeri juga akan lebih mudah diidentifikasi.

Kendati begitu, kebijakan tersebut akan membuat wajib pajak lebih patuh dan mencegah penghindaran pajak.

"Wajib pajak, apalagi orang-orang berpengaruh akan cenderung melakukan pelaporan sukarela ketika mengetahui data aset dapat diakses otoritas pajak," imbuhnya.

Sejalan dengan itu, Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar turut mengapresiasi langkah pemerintah mendukung pertukaran data properti lintas yurisdiksi.

Menurutnya, sektor properti selama ini menjadi salah satu celah untuk menghindari ketentuan pertukaran data otomatis antarnegara.

"Sektor properti selama ini merupakan satu celah untuk menghindari ketentuan pertukaran data otomatis antar yurisdiksi yang kita kenal dengan AEoI," kata Fajry.

Ia menilai kepemilikan properti luar negeri kerap digunakan sebagai modus menyembunyikan aset dari otoritas pajak maupun terkait praktik pencucian uang.

Namun, Fajry menegaskan bahwa pertukaran informasi lintas yurisdiksi tidak semata-mata soal penerimaan pajak.

Lebih dari itu, kata dia, kebijakan tersebut penting untuk mencegah modal kabur dari Indonesia.

"Ini penting, mengingat kita butuh banyak modal atau kapital untuk mengejar target pertumbuhan 8%. Lebih lanjut, hal ini juga akan membantu stabilitas nilai tukar rupiah," pungkasnya.

Untuk diketahui, Pemerintah Indonesia resmi ikut dalam aturan baru Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang mengatur pertukaran otomatis informasi kepemilikan dan transaksi properti lintas negara.

Keikutsertaan ini ditandai dengan adopsi Indonesia terhadap Joint Statement 4 Desember 2025 yang menjadi dasar penerapan skema pertukaran data properti internasional.

Melalui langkah ini, kepemilikan properti Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri ke depan tidak lagi berada di area abu-abu.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan memiliki akses informasi terkait kepemilikan, transaksi, hingga penghasilan dari properti yang berada di yurisdiksi negara peserta lainnya.

Sebelumnya, pernyataan bersama ini ditandatangani oleh 25 negara, termasuk Belgia, Brasil, Prancis, Jerman, Italia, Korea, Spanyol, hingga Inggris beserta Gibraltar. Indonesia masuk sebagai yurisdiksi yang kemudian mengadopsi komitmen tersebut.

Dalam pernyataan bersama, negara-negara pendukung menyepakati target implementasi penuh pada 2029 atau 2030 setelah seluruh prosedur domestik rampung.

Sumber: kontan.co.id

DJP Siapkan Senjata, Wajib Pajak Tak Bisa Sembunyikan Aset Properti di Luar Negeri

Indonesia resmi bergabung dalam prakarsa global terbaru yang digagas Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk memperkuat transparansi perpajakan internasional.

Pemerintah Indonesia telah menyatakan dukungan terhadap Joint Statement 4 Desember 2025 mengenai pertukaran otomatis informasi kepemilikan dan transaksi properti lintas negara.

Dengan bergabungnya Indonesia, daftar negara pendukung kini semakin luas setelah sebelumnya diisi oleh negara-negara seperti Belgia, Prancis, Jerman, Italia, Korea, Spanyol, hingga Inggris bersama Gibraltar.

Indonesia menjadi yurisdiksi baru yang menyusul setelah pernyataan bersama tersebut diumumkan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Rosmauli mengatakan bahwa rencana pertukaran data properti dengan negara-negara anggota OECD yang ditargetkan mulai berlaku pada 2030 merupakan bagian dari penguatan transparansi perpajakan global.

Kebijakan ini diarahkan untuk menutup celah penghindaran pajak lintas negara, khususnya melalui kepemilikan aset bernilai tinggi di luar yurisdiksi domisili Wajib Pajak.

"Rencana pertukaran data properti dengan negara-negara anggota OECD mulai tahun 2030 merupakan bagian dari penguatan transparansi perpajakan global dan upaya menutup celah penghindaran pajak lintas negara," ujar Rosmauli kepada Kontan.co.id, Jumat (12/12/2025).

Ia menilai, properti merupakan salah satu instrumen aset bernilai tinggi yang berpotensi digunakan untuk menyimpan kekayaan di luar yurisdiksi domisili Wajib Pajak, sehingga perlu didukung oleh kerja sama internasional yang kuat.

"DJP memandang kebijakan ini sebagai langkah strategis jangka panjang untuk memperkuat basis data perpajakan dan memastikan keadilan pajak, khususnya bagi wajib pajak dengan kompleksitas aset lintas negara," katanya.

Dari sisi persiapan, Rosmauli menambahkan bahwa DJP menyatakan tengah melakukan penguatan secara bertahap, mulai dari sistem teknologi informasi, tata kelola data, hingga peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Selain itu, harmonisasi regulasi nasional dengan standar internasional OECD juga terus dilakukan guna memastikan pelaksanaan pertukaran data berjalan aman, akurat, serta sejalan dengan prinsip perlindungan data.

"Seluruh proses ini dilakukan secara terukur dan bertahap untuk memastikan kesiapan institusional sebelum implementasi penuh pada 2030," terang Rosmauli.

Sumber: kontan.co.id

Ditjen Pajak Ikut Aturan Baru OECD, Properti WNI di Luar Negeri Bakal Terpantau

Pemerintah Indonesia resmi ikut dalam aturan baru Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang mengatur pertukaran otomatis informasi kepemilikan dan transaksi properti lintas negara.

Keikutsertaan ini ditandai dengan adopsi Indonesia terhadap Joint Statement 4 Desember 2025 yang menjadi dasar penerapan skema pertukaran data properti internasional.

Melalui langkah ini, kepemilikan properti Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri ke depan tidak lagi berada di area abu-abu.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan memiliki akses informasi terkait kepemilikan, transaksi, hingga penghasilan dari properti yang berada di yurisdiksi negara peserta lainnya.

Sebelumnya, pernyataan bersama ini ditandatangani oleh 25 negara, termasuk Belgia, Brasil, Prancis, Jerman, Italia, Korea, Spanyol, hingga Inggris beserta Gibraltar. Indonesia masuk sebagai yurisdiksi yang kemudian mengadopsi komitmen tersebut.

Langkah ini menandai kesiapan Indonesia menuju implementasi Multilateral Competent Authority Agreement on Automatic Exchange of Readily Available Information on Immovable Property (IPI MCAA), yakni skema pertukaran data properti yang dikembangkan OECD untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan internasional.

OECD menilai, meskipun transparansi untuk aset finansial sudah diperkuat melalui Common Reporting Standard (CRS) dan Crypto-Asset Reporting Framework (CARF), hingga kini belum ada sistem global untuk bertukar informasi mengenai aset non-finansial seperti rumah, tanah, dan bangunan.

"Mengakui bahwa kepemilikan dan transaksi yang melibatkan properti tidak bergerak seringkali memiliki unsur lintas batas, kami menyadari perlunya mekanisme yang lebih baik untuk memastikan bahwa Otoritas Pajak memiliki akses ke informasi yang relevan mengenai aset properti tidak bergerak yang dimiliki dan pendapatan yang dihasilkan darinya di luar negeri guna menegakkan undang-undang pajak secara efektif," tulis Joint Statement tersebut, dikutip Minggu (14/12/2025).

Melalui kesepakatan ini, negara peserta akan saling bertukar informasi properti yang sudah tersedia pada institusi pemerintah, seperti alamat, nilai properti, jenis bangunan, nomor identifikasi unik, fraksi kepemilikan, serta berbagai informasi terkait transaksi seperti harga beli atau jual, tanggal akuisisi, dan metode pembiayaan.

Data pemilik maupun beneficial owner juga akan disertakan, termasuk nama, domisili pajak, alamat, TIN (NPWP), dan tanggal lahir.

Skema ini turut mencakup informasi penghasilan yang diterima dari properti, seperti pendapatan sewa beserta pajak yang telah dibayarkan.

Dalam pernyataan bersama, negara-negara pendukung menyepakati target implementasi penuh pada 2029 atau 2030 setelah seluruh prosedur domestik rampung.

Dengan bergabungnya Indonesia, komitmen pemerintah untuk memperkuat pengawasan pajak lintas negara dinilai semakin jelas, terutama terhadap wajib pajak dengan kepemilikan aset bernilai besar di luar negeri.

Sumber: kontan.co.id

Thursday, December 11, 2025

Giliran Crazy Rich Disorot, Ditjen Pajak Temukan Banyak Kejanggalan di SPT

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mulai mengambil langkah tegas terhadap para high wealth individual (HWI) atau kelompok crazy rich guna meningkatkan kepatuhan perpajakan.

Langkah ini dilakukan setelah otoritas menemukan banyak ketidaksesuaian antara laporan Surat Pemberitahuan (SPT) para wajib pajak berpenghasilan tinggi dengan berbagai data pembanding yang kini dimiliki DJP.

Dalam acara yang digelar Pusdiklat Pajak, Kamis (11/12/2025), Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan pemanggilan untuk konsultasi dan klarifikasi kepada sejumlah HWI.

Ia menegaskan DJP kini memiliki akses data yang jauh lebih lengkap, termasuk informasi mengenai beneficial owner, sehingga proses pengawasan dapat dilakukan lebih akurat.

“Kami punya data-data yang selama ini mungkin tidak pernah terkomunikasikan dengan baik. Namun sebagian wajib pajak merasa kami tidak memiliki akses terhadap data tersebut, sehingga tidak dilaporkan dalam SPT,” ujar Bimo.

Ia menjelaskan, berbagai sumber data baru memungkinkan DJP melakukan benchmarking kepatuhan secara lebih komprehensif. Meski demikian, masih terdapat wajib pajak kaya yang melaporkan informasi tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.

Menurut Bimo, situasi ini menciptakan paradoks fiskal. Di satu sisi, kelompok berpenghasilan tinggi memiliki kemampuan ekonomi yang besar. Namun di sisi lain, kontribusi pajak mereka tidak selalu sejalan dengan kapasitas tersebut.

“Padahal kebijakan fiskal seharusnya menjadi penyeimbang, balancer, agar ketimpangan sosial dan ketimpangan penghasilan dapat diminimalisasi,” tegasnya.

DJP menegaskan akan terus memperkuat pemanfaatan data serta meningkatkan pengawasan berbasis risiko.

Pemanggilan wajib pajak kaya ini diharapkan menjadi langkah awal untuk mendorong transparansi, memperbaiki kepatuhan, dan memastikan keadilan dalam sistem perpajakan nasional.

Sumber: kontan.co.id

Monday, November 24, 2025

Dirjen Pajak: 463 Wajib Pajak Nakal Bakal Diperiksa, Diduga Manipulasi Data Ekspor

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menemukan bahwa ratusan wajib pajak terindikasi melakukan berbagai skema modus penghindaran pajak.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengatakan bahwa setelah penelusuran lanjutan, jumlah wajib pajak yang diduga melakukan praktik tersebut meningkat menjadi 463 wajib pajak.

Angka ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah wajib pajak yang diumumkan Bimo sebanyak 282 wajib pajak pada awal November 2025 lalu.

"Targetnya dari kemarin 282 wajib pajak setelah kita coba telusuri, ini ada sekitar dugaan ya ini masih dugaan, tentu ini prejudice of innocence itu sekitar 463 wajib pajak," ujar Bimo dalam Media Gathering di Bali, Selasa (25/11).

Ia menjelaskan, dugaan pelanggaran yang ditemukan berkaitan dengan sejumlah skema untuk menghindari kewajiban negara.

Modus yang dicurigai mencakup penghindaran pungutan ekspor, pengabaian kewajiban domestic market obligation (DMO), kewajiban pajak dalam negeri, serta indikasi adanya dividen terselubung.

Sebelumnya, Bimo mengungkapkan bahwa DJP telah mengidentifikasi sebanyak 282 wajib pajak yang diduga terlibat dalam praktik manipulasi ekspor serupa.

Dari jumlah tersebut, 257 wajib pajak menggunakan modus POME pada periode 2021–2024 dengan total nilai Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) mencapai Rp 45,9 triliun, sedangkan 25 wajib pajak lainnya diduga menggunakan modus Fatty Matter sepanjang tahun 2025 dengan nilai PEB sekitar Rp 2,08 triliun.

"DJP mengestimasikan potensi kerugian negara dari sisi pajak akibat praktik underinvoicing Fatty Matter pada tahun 2025 mencapai sekitar Rp140 miliar. Temuan ini berawal dari deteksi anomali lonjakan ekspor Fatty Matter ke Tiongkok sepanjang tahun berjalan,” jelas Bimo.

Sebagai tindak lanjut, DJP kini tengah melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper) terhadap PT MMS dan tiga perusahaan afiliasinya, yaitu PT LPMS, PT LPMT, dan PT SUNN, guna memastikan kepatuhan perpajakan dan kebenaran nilai transaksi yang dilaporkan.

Pemeriksaan ini akan menjadi dasar untuk menentukan langkah penegakan hukum berikutnya, termasuk kemungkinan peningkatan status ke tahap penyidikan apabila ditemukan bukti permulaan yang cukup.

Bimo menegaskan bahwa DJP menerapkan pendekatan multi-door dalam penegakan hukum dengan menggandeng berbagai lembaga seperti Satgassus OPN Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sumber: kontan.co.id