Thursday, June 7, 2012

Di Era Soeharto, Seluruh Pegawai Bea & Cukai Pernah Dirumahkan

Jakarta - Lepas dari segala dugaan kasus korupsi yang dialamatkan pada penguasa orde baru Soeharto, ada satu gebrakan yang perlu dicatat. Pada 1985, Soeharto pernah melakukan langkah radikal untuk melakukan pemberantasan korupsi di instansi Bea dan Cukai. Soeharto pernah merumahkan seluruh pegawai instansi itu selama 4 tahun.

Seperti dikutip dari orasi ilmiah yang disampaikan mantan pimpinan KPK Amien Sunaryadi pada Oktober 2011 lalu saat wisuda STAN, dituturkan, kebijakan itu diambil Soeharto guna memerangi korupsi yang mengganas di instansi itu.

"Menjelang tahun 1985, Presiden Soeharto menerima komplain dari pengusaha-pengusaha besar, termasuk para pengusaha dari Jepang bahwa aparat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terlalu ribet, terlalu bertele-tele dan pada akhirnya pungli atau pungutan liarnya minta besar," jelas Amien menyitir kisah Kepala BPKP saat itu Gandhi, dalam orasi ilmiahnya yang dikutip detikcom, Jumat (8/6/2012).

Soeharto kala itu tidak diam saja mendengar komplain dari para pengusaha. Dia kemudian memanggil Menteri Keuangan Radius Prawiro dan memberitahukan komplain para pengusaha itu terkait dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Tidak lama kemudian Menteri Keuangan memberikan Draft Rencana Reorganisasi.

Setelah menerima draft reorganisasi, Soeharto kemudian memanggil tiga pembantunya, yakni Dr. Saleh Afif, Menteri Penertiban Aparatur Negara Rahmat Saleh, Menteri Perdagangan, dan Kepala BPKP Gandi.

"Diskusi diakhiri dengan kesimpulan bahwa terdapat dua alternatif solusi, yaitu dibubarkan atau direorganisasi. Terhadap alternatif tersebut ketiga pembantu Presiden mengusulkan agar dilakukan reorganisasi terhadap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Atas usulan tersebut Presiden menyetujui untuk dicoba dulu tapi memerintahkan Kepala BPKP agar pelaksanaannya dievaluasi segera," terang Amien.

Sebelum diambil keputusan, tim BPKP melakukan penyelidikan dengan turun ke lapangan. Hasilnya cukup mencengangkan. Kala itu, untuk mengurus izin ekspor dan impor, di Bea dan Cukai harus melewati 42 meja. Kemudian setelah turun BPKP bisa berkurang menjadi 21 meja.

"Begini Pak, tadinya orang Bea dan Cukai itu duduknya satu meja satu orang, sekarang satu meja dua orang. Jadi tahapnya sama, tapi jumlah mejanya yang berkurang," tulis Amien menirukan percakapan tim BPKP.

Hingga akhirnya, setelah mendapatkan penilaian dari BPKP, Soeharto merilis Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985, yang salah satu isi perintahnya adalah merumahkan sebagian besar pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan mempercayakan pekerjaan
kebeacukaian kepada sebuah perusahaan Swiss yang bernama Suisse Generale Surveillance atau SGS3.

"Penyerahan pekerjaan kebeacukaian ini dilakukan dengan perjanjian kontrak selama sepuluh tahun. Akibat dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tersebut, maka ribuan pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak diperkenankan untuk bekerja ke kantor walaupun gaji masih tetap dibayarkan," jelas Amien.

Amien berkisah, kebijakan Soeharto itu dilaksanakan secara konsisten oleh Menteri Keuangan saat itu selama 10 tahun. Hal ini menunjukkan selain keputusan presiden yang cepat juga peran Menteri Keuangan.

"Walaupun langkah tersebut sangat menyakitkan bagi warga Departemen Keuangan, khususnya bagi warga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai," tutur Amien.

Nah, bicara soal pembersihan, semuanya kembali pada perbaikan sistem. Walau orang-orang sudah diganti, kalau sistemnya tidak dijaga akan kembali seperti semula.

"Sistem dibenahi dan mindset bangsa harus diubah. Sekarang uang mengalahkan harga diri. Perlu pemimpin yang tegas dan cepat dalam mengambil keputusan," tuturnya.

Sumber: detikcom

No comments:

Post a Comment