Monday, August 9, 2010

Tetapkan PBB: Wuih, Ditjen Pajak Gunakan Google Map

JAKARTA, KOMPAS.com — Direktorat Jenderal Pajak menggunakan layanan peta digital dan berbasis satelit yang disediakan situs informasi terkemuka di dunia, Google Map, sebagai dasar penetapan Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB. Dengan cara ini, diharapkan tidak ada aset tanah dan bangunan warga yang salah penghitungan.

”Kami memakai Google Map sebagai salah satu dasar menentukan besaran NJOP (nilai jual obyek pajak atau dasar penentu tagihan PBB),” kata Kepala Kantor Wilayah Bali, Direktorat Jenderal Pajak, Zulfikar Thahar di Kuta, Bali, Jumat (6/8/2010).

Menurut Zulfikar, belakangan ini muncul kecenderungan protes atau keberatan dari wajib pajak yang merasa NJOP untuk tanah dan bangunan miliknya tidak tepat, baik terlalu besar tagihannya maupun malah bukan obyek PBB. Sebagai contoh, ada sebuah pulau kecil di kawasan Nusa Dua, Bali, yang di dalamnya hanya berisi tempat ibadah, pura, sehingga bukan merupakan obyek PBB.

Namun, ternyata pulau itu masih tetap ditagih PBB-nya sehingga menuai keberatan dari para tokoh agama setempat. Setelah diproses dengan Google Map, aparat pajak mengetahui kebenaran kondisi pulau itu, yang memang hanya berisi pura. Atas dasar itu, pulau tersebut dibebaskan dari tagihan PBB.

”Semua Ditjen Pajak dapat menggunakan Google Map dengan biaya (sewa) yang ditanggung kantor pusat di Jakarta,” ujar Zulfikar.

Saat ini, seluruh dana yang dihimpun dari PBB diserahkan kepada pemerintah daerah setempat. Namun, penagihannya masih oleh Ditjen Pajak.

Zulfikar mengatakan, pemerintah pusat berharap PBB tidak dijadikan sumber utama dalam mendorong pendapatan asli daerah (PAD). Karena dengan demikian, pemerintah daerah akan berlomba menaikkan NJOP.

Selain itu, penetapan NJOP juga harus hati-hati karena dalam satu areal yang sama akan ada perbedaan PBB antara tanah dan bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal serta yang dipakai untuk komersial. Jika NJOP tanah dan bangunan komersial dinaikkan, akan mendorong kenaikan pada tanah dan bangunan di sekitarnya.

Akibatnya, rasa keadilan tidak muncul bagi pemilik tanah dan bangunan yang tidak menggunakannya untuk tujuan komersial, misalnya sawah, kebun, atau rumah tempat tinggal. Kecenderungan menaikkan NJOP kawasan komersial terus muncul dari pemerintah daerah yang menghendaki peningkatan PAD.

”Untuk memilah-milah tanah dan bangunan komersial dan bukan komersial, kami dapat menggunakan Google Map itu. Karena sering kali antara tanah dan bangunan komersial serta yang bukan komersial itu terletak bersebelahan,” ungkap Zulfikar.

Bali merupakan salah satu contoh daerah yang menghadapi masalah PBB karena salah satu sumber pertumbuhan ekonominya adalah sektor pariwisata sehingga banyak tanah bangunan yang disulap menjadi sarana komersial, baik hotel, restoran, maupun vila. Banyak pelaku usaha yang berusaha menyembunyikan informasi untuk menghindar dari kewajiban pajaknya.

Sebagai gambaran, realisasi penerimaan PBB di Bali per 2 Agustus 2010 adalah Rp 186,549 miliar atau 42,71 persen dari target pada akhir tahun 2010, yakni Rp 436,77 miliar. Setoran PBB per 2 Agustus 2010 itu lebih tinggi 9,6 persen dibandingkan dengan setoran PBB Bali periode yang sama tahun 2009, yakni Rp 72,966 miliar.

Bukan solusi

Pengamat pajak Darussalam mengatakan, penggunaan Google Map bukan solusi efektif untuk menyelesaikan permasalahan ketidaktepatan penilaian obyek PBB serta peruntukan tanah dan bangunan. Padahal, hal ini yang banyak dikeluhkan masyarakat.

Solusi efektif adalah melakukan pendataan setiap obyek PBB, bekerja sama dengan aparat pemerintah daerah dan penilai (appraisal) independen. Ini harus dilakukan secara berkesinambungan dalam periode waktu tertentu, yakni dalam beberapa tahun sekali.

”Jika ini dilakukan, nilai dan peruntukan PBB akan mendekati nilai sebenarnya sehingga keberatan atas PBB bisa diperkecil,” ujar Darussalam. (OIN)

Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/08/09/07464428/Wuih..Ditjen.Pajak.Gunakan.Google.Map

No comments:

Post a Comment