Thursday, November 11, 2010

Cukai Palsu Dominan di Pedesaan

JAKARTA, KOMPAS.com - Pelaku pelanggaran pita cukai palsu sebagian besar terjadi di pedesaan karena penduduk desa tidak melihat merk dan keberadaan pita cukai pada saat mengkonsumsi rokok. Akibatnya, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 30 miliar setahun, belum memperhitungkan biaya kesehatan yang diperkirakan jauh lebih besar.

"Dari sisi wilayah, pelanggaran terbanyak ditemukan di Sulawesi Selatan. Sedangkan yang paling sedikit terjadi di Yogyakarta dan Lampung," ungkap peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada, Elan Satriawan dan Arti Adji di Jakarta, Kamis (11/11/2010).

Menurut Elan, dari sisi jenisnya, pelanggaran cukai terbesar terjadi pada rokok jenis sigaret kretek mesin (SKM) Golongan 2. Adapun jenis pelanggaran paling besar terjadi dalam bentuk salah personifikasi, diikuti dengan salah peruntukan, rokok polos, pita cukai palsu, dan pita bekas.

"Dari sisi pabrik rokok, pelanggaran dijumpai paling besar pada rokok yang diproduksi oleh pabrik rokok yang tidak terdaftar di Ditjen Bea dan Cukai. Dengan demikian, pelanggaran banyak terjadi di Malang, Kudus, dan Blitar," ungkapnya.

Kerugian negara yang disebabkan oleh beredarnya cukai rokok palsu itu, ternyata di bawah dari perkiraan banyak pihak. Sebelumnya, banyak kalangan memperkirakan, kerugian negara akibat cukai palsu bisa mencapai Rp 1 triliun hingga Rp 2 triliun, nyatanya hanya Rp 200 miliar-Rp 300 miliar per tahun. Itu kurang dari satu persen dari penerimaan cukai dalam setahun yang mencapai Rp 57 triliun.

"Bahkan ada yang menyatakan rata-rata kerugian negara akibat beredarnya cukai palsu di negara-negara berkembang seperti Indonesia bisa mencapai Rp 4 triliun. Sehingga kami pun memproyeksikan di Indonesia bisa mencapai Rp 2 triliun. Namun, setelah kami melakukan survei, kerugiannya sekitar Rp 300 miliar," ungkap Elan.

Indonesia merupakan konsumen rokok kelima terbesar di dunia dengan sepertiga penduduknya yang mengkonsumsi rokok. Tingginya konsumsi rokok menyebabkan penerimaan pemerintah dari pajak rokok terus meningkat dari 4,3 persen pada tahun 1990 menjadi 7,3 persen dari penerimaan total pemerintah pada tahun 2000.

"Penerimaan cukai Rp 40 triliun pada tahun 2007, lalu menjadi Rp 51 triliun pada tahun 2008, dan diestimasi akan mencapai Rp 57 triliun pada tahun 2010. Itu disebabkan penegakkan hukum yang lebih baik dan adanya peningkatan tarif cukai," kata Elan.

Pita cukai yang dilekatkan pada rokok, sangat bernilai karena merupakan bukti pelunasan cukai rokok. Pita cukai dirancang oleh Ditjen Bea dan Cukai untuk pengamanan yang ditanamkan pada kertas, hologram, dan cetakan. Unsur sekuriti digunakan sebagai pengaman pita cukai agar tidak dipalsukan dan memudahkan identifikasi bagi para petugas bea dan cukai.

Biaya kesehatan

Elan menegaskan, meskipun kerugian negara akibat pita cukai palsu itu relatif kecil, namun kerugian itu belum memperhitungkan kerugian akibat munculnya biaya kesehatan. Sebab, ketika pita cukai tidak digunakan pada sebuah produk rokok, maka harga jual rokok tersebut akan semakin murah. Akibatnya, akan semakin banyak orang yang mengkonsumsi rokok ilegal, dan sekaligus meningkatkan risiko kesehatan.

"Rokok merupakan produk yang kontroversial. Karena di satu sisi, dia menghasilkan devisa yang besar, dan di sisi lain dia menyebabkan tingginya biaya kesehatan. Sebagai gambaran, biaya kesehatan yang harus ditanggung perokok di Amerika Serikat mencapai 194 miliar dollar AS," ujarnya.

Ekonom Universitas Gadjah Mada, A Tony Prasetyantono mengungkapkan, konsumen rokok yang sangat memperhatikan merk rata-rata ada di perkotaan. Atas dasar itu, ada kemungkinan pemalsuan rokok bermerk di daerah pinggiran kota besar, seperti di Jakarta.

"Di kota besar memang tidak mungkin ada pelanggaran merk karena ada pengawasan dari produsen rokok besar. Namun, ketika kita bergeser ke daerah pinggiran, mereka juga sangat berorientasi ke merk, namun tidak tahu keasliannya. Ini memang membutuhkan survei baru untuk mendalaminya," kata Tony.

Sumber: kompas.com

No comments:

Post a Comment