Monday, February 21, 2011

Ini Dia Penjelasan Ditjen Bea dan Cukai Soal Film Hollywood

Jakarta - Hollywood mengancam akan memutuskan untuk berhenti mengedarkan produksi film mereka di Indonesia menyusul adanya kenaikan pajak film impor. Namun pihak Ditjen Bea dan Cukai mengatakan bahwa tidak ada kenaikan bea masuk impor film asing. Ini dia penjelasannya.

Ditjen Bea dan Cukai menggelar jumpa pers di kantornya, Jalan Ahmad Yani, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (21/2/2011). Direktur Teknis Kepabeanan Ditjen Bea Cukai Heri Kristiono mengatakan, selama ini para importir film asing dalam negeri tak memasukkan nilai royalti ke dalam nilai pabeannya.

1. Tidak terdapat kebijakan atau peraturan yang baru terhadap film impor karena penambahan royalti ke dalam nilai pabean sudah sesuai dengan WTO Valuation Agreement yang sudah diratifikasi dengan UUD No 7 tahun 1994 dan di-adopt pada UU no 10 tahun 1995 telah diubah dengan No 17/2006 tentang Kepabeanan yang mengatur ketentuan tentang Nilai Pabean.

2. Tidak ada kenaikan tarif bea masuk, film impor diklasifikasikan dalam HS Code 3706 dengan pembebanan tarif bea masuk 10%, PPN impor 10% dan PPh pasal 22 impor 2,5%

3. DJBC melakukan re-assesment berdasarkan referensi sebagai berikut:

* Menindaklanjuti rapat interdep tim harmonisasi tarif pada tanggak 11 Februari 2010 di Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF, diadakan pertemuan pimpinan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) dengan Kepala BKF, dalam pertemuan BKF menyatakan bahwa permasalahannya saat ini perhitungan nilai pabean untuk impor film hanya didasarkan pada harga cetak copy film, belum termasuk hak royalti dan bagi hasil.

* Surat Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2) kepada Direkrut Jenderal Bea Cukai nomor 282/BP2N/III/2010 tanggal 26 Maret 2010 perihal permohonan penetapan nilai pabean film impor sesuai dengan nilai yang wajar, dengan alasan bahwa:
A. Pajak yang dikenakan terhadap film nasional selama ini lebih tinggi dibandingkan dengan film impor.
B. Berdasarkan data website Mojo Film Box Office, hasil peredaran dari sebagian film impor yang dibayarkan pada produser (52 juduk) film untuk periode April 2009 sd Februari 2010 telah menghasilkan hampir USD 60 juta atau setara Rp±570 milyar (kurs=rp 9500/1 USD).

* Surat Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri kepada Ketua BP2N nomor 121/DAGLU/4/2010 tanggal 12 April 2010 yang menyatakan bahwa ada faktor keunikan film yang mengandung hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights) sehingga penetapan nilai pabean tidak sekadar menggunakan patokan metrik rata-rata per-film (USD 0,43/meter).

* Surat dari BKF kepada BP2N nomor S-320/KF/2010 tanggal 17 Juni 2010 perihal Pemberian Insentif Fiskal bagi industri Perfilman Nasional dan Penetapan Nilai Pabean atas Film Impor yang intinya berisi penetapan Nilai Pabean barang Film Impor merupakan implementasi dari UU No 17 Tahun 2006 tentang kepabeanan bukan kebijakan

4. DJBC melakukan re-assessment sesuai UU 10 tahun 1995 telah diubah dengan No 17/2006 tentang Kepabeanan, dimana produser pemasukan barang impor sesuai UU tersebut menganut prinsip-prinsip self assessment. Berdasarkan prinsip tersebut DJBC berwenang untuk melakukan pengujian atas pemberitahuan dimaksud. Dalam Pemberitahuan pabeannya, importir hanya memberitahukan biaya cetak copy film tanpa memasukan royalti ke dalam nilai pabeannya, sehingga DJBC menambahkannya ke dalam perhitungan nilai pabean sesuai ketentuan.

5. Pada tanggal 18 Februari 2011 dilakukan pertemuan antara DJBC dengan MPA dan Produser Film (antara lain: 21th Century, Walt Disney, Time Warner, Sony Picture) membahas permasalahan nilai pabean film impor, dalam pertemuan tersebut DJBC meminta kepada MPA dan Produser dimaksud untuk menyampaikan secara tertulis hal-hal yang menjadi concern mereka kepada Direktur Jenderal dan sampai saat ini belum diterima DJBC.

Sumber: detikhot.com

No comments:

Post a Comment