Jakarta - Komponen royalti dalam penghitungan bea masuk film impor seharusnya telah berlaku sejak 1995. Namun Ditjen Bea dan Cukai belum menetapkannya karena potensi penerimaan tak signifikan dan belum jadi target.
Ditjen Bea dan Cukai Thomas Sugijata mengatakan, penerapan royalti yang masuk dalam penghitungan bea masuk disebabkan pemenuhan aturan dari world trade organization (WTO).
Seperti diketahui pada 1994, WTO telah menetapkan WTO Valuation Agreement yang sudah diratifikasi dengan UU No.7 Tahun 1994 dan diadopsi pada UU No.10 Tahun 1995 telah diubah dengan No 17/2006 tentang Kepabeanan yang mengatur ketentuan tentang Nilai Pabean.
Menurut Thomas penerimaan negara dari royalti film masih sangat kecil, apalagi jumlah importir film hanya sekitar 9 importir dibandingkan jumah keseluruhan importir di Indonesia yang sebesar 15 ribu.
"Nah, itu masalahnya royalti itu suatu yang memang harus kita dalami dulu dalam menegakkan itu. Karena importir film itu pada dasarnya dari jumlah PIB-nya (Pemberitaan Impor Barang) sedikit, nilainya juga sedikit, makanya nggak kita target," jelas Thomas ketika ditemui di sela rapat dengan komisi VI DPR RI, Jakarta, Rabu (23/2/2011).
Pada 2010 Thomas mengatakan Bea Cukai mendapatkan surat dari pimpinan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) dan WTO yang membuat Bea Cukai mulai menyisir kembali importir mana yang berkewajiban menambahkan royalti dalam penghitungan bea masuk.
Dari hasil penyisiran tersebut terdapat tambahan 300 importir yang perlu dilakukan penyesuaian terhadap bea masuknya, termasuk 9 di antaranya importir film.
"Ya kan ditetapkannya dari Juni 2010 itu, kepabeanan terhadap importir itu tidak hanya film, ada 300 importir. Nah diantaranya itu film. Ada 9 importir film, bukan hanya Amerika saja, itu semuanya, cuma ada yang nggak aktif, ada yang aktif tapi volumenya sedikit," ujarnya.
Karena itulah mulai ditegaskan adanya komponen royalti yang harus dimasukkan ke dalam penghitungan tarif bea masuk impor film. Jadi sejak 1995, importir film tak membayar royalti dalam penghitungan bea masuknya.
Jadi Thomas menyatakan penyesuaian bea masuk tersebut tetap harus dilakukan sebagai bentuk pemenuhan aturan.
"Kan masalahnya bukan masalah potensi penerimaannya ya, masalahnya lebih kepada pemenuhan ketentuannya. Karena kalau dibandingkan potensi penerimaan dengan target penerimaan, itu kan nggak signifikan, jadi lebih kepada pemenuhan ketentuan. Kan ini sesuai dengan penegakan aturan kepabeanan, WTO, valuation agreement," pungkasnya.
Sumber: detikFinance
Ditjen Bea dan Cukai Thomas Sugijata mengatakan, penerapan royalti yang masuk dalam penghitungan bea masuk disebabkan pemenuhan aturan dari world trade organization (WTO).
Seperti diketahui pada 1994, WTO telah menetapkan WTO Valuation Agreement yang sudah diratifikasi dengan UU No.7 Tahun 1994 dan diadopsi pada UU No.10 Tahun 1995 telah diubah dengan No 17/2006 tentang Kepabeanan yang mengatur ketentuan tentang Nilai Pabean.
Menurut Thomas penerimaan negara dari royalti film masih sangat kecil, apalagi jumlah importir film hanya sekitar 9 importir dibandingkan jumah keseluruhan importir di Indonesia yang sebesar 15 ribu.
"Nah, itu masalahnya royalti itu suatu yang memang harus kita dalami dulu dalam menegakkan itu. Karena importir film itu pada dasarnya dari jumlah PIB-nya (Pemberitaan Impor Barang) sedikit, nilainya juga sedikit, makanya nggak kita target," jelas Thomas ketika ditemui di sela rapat dengan komisi VI DPR RI, Jakarta, Rabu (23/2/2011).
Pada 2010 Thomas mengatakan Bea Cukai mendapatkan surat dari pimpinan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) dan WTO yang membuat Bea Cukai mulai menyisir kembali importir mana yang berkewajiban menambahkan royalti dalam penghitungan bea masuk.
Dari hasil penyisiran tersebut terdapat tambahan 300 importir yang perlu dilakukan penyesuaian terhadap bea masuknya, termasuk 9 di antaranya importir film.
"Ya kan ditetapkannya dari Juni 2010 itu, kepabeanan terhadap importir itu tidak hanya film, ada 300 importir. Nah diantaranya itu film. Ada 9 importir film, bukan hanya Amerika saja, itu semuanya, cuma ada yang nggak aktif, ada yang aktif tapi volumenya sedikit," ujarnya.
Karena itulah mulai ditegaskan adanya komponen royalti yang harus dimasukkan ke dalam penghitungan tarif bea masuk impor film. Jadi sejak 1995, importir film tak membayar royalti dalam penghitungan bea masuknya.
Jadi Thomas menyatakan penyesuaian bea masuk tersebut tetap harus dilakukan sebagai bentuk pemenuhan aturan.
"Kan masalahnya bukan masalah potensi penerimaannya ya, masalahnya lebih kepada pemenuhan ketentuannya. Karena kalau dibandingkan potensi penerimaan dengan target penerimaan, itu kan nggak signifikan, jadi lebih kepada pemenuhan ketentuan. Kan ini sesuai dengan penegakan aturan kepabeanan, WTO, valuation agreement," pungkasnya.
Sumber: detikFinance
No comments:
Post a Comment