Jakarta - Pajak untuk film asing di Indonesia masih rendah. Bahkan jika dibandingkan dengan pajak film lokal, pajak film asing ternyata masih jauh lebih rendah.
Wakil Ketua Badan Pusat Perfilman Nasional (BP2N) Rudi S Sanyoto mengungkapkan, selama ini beban pajak film dalam negeri bisa mencapai sepersepuluh kali pajak produksi film tersebut.
"Kalau film nasional dengan produksi Rp 5 miliar, pajak sudah Rp 500 juta. Film Hollywood produksi Rp 3 triliun, datang kesini hanya bayar Rp 2 juta per kopi. Hanya sekitar Rp 100 juta," ungkapnya di kantor Kementrian Keuangan, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Senin (28/2/2011) malam.
Ia pun memberi contoh penerapan pajak film asing di Thailand. Di Thailand, bea masuk untuk rol film US$1 per meter, sedangkan di Indonesia hanya US$ 0,43 per meter sehingga secara keseluruhan 1 kopi film asing di Thailand bisa dikenakan hingga US$30 juta.
"Kalau 50 kopi, harus bayar 1,5 miliar, belum termasuk PPN dan PPh," ungkapnya.
Oleh sebab itu, lanjut Rudi, wajarlah kalau film asing merajai perfilman dalam negeri. Di Indonesia, ketika film dalam negeri hanya 80 judul film yang beredar, film impor 200 judul. Sedangkan di Thailand, ketika film dalam negeri yang beredar sebanyak 55 film, hanya terdapat 80 film asing yang turut bersaing.
"Di Thailand, ada 200 bioskop, dengan film impor 80 judul, nasional 55 judul," ujarnya.
Dengan demikian, Rudi sepakat dengan sikap pemerintah khususnya Ditjen Bea Cukai yang memasukkan royalti dalam perhitungan bea masuk impor film asing ke Indonesia dan diharapkan dapat menyehatkan perfilman nasional.
"Dengan keputusan ini, merupakan titik utama untuk pengembangan film nasional. Impor selama ini lebih murah dan menjanjikan. Kami harap ada persaingan sehat. Ketika diterapkan, film-film impor yang tidak besar kan berkurang secara otomatis. Bisa jadi peluang film nasional. Apalagi di Indonesia, ada 9 provinsi yang tidak ada bioskop," pungkasnya.
Sumber: detikFinance
Wakil Ketua Badan Pusat Perfilman Nasional (BP2N) Rudi S Sanyoto mengungkapkan, selama ini beban pajak film dalam negeri bisa mencapai sepersepuluh kali pajak produksi film tersebut.
"Kalau film nasional dengan produksi Rp 5 miliar, pajak sudah Rp 500 juta. Film Hollywood produksi Rp 3 triliun, datang kesini hanya bayar Rp 2 juta per kopi. Hanya sekitar Rp 100 juta," ungkapnya di kantor Kementrian Keuangan, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Senin (28/2/2011) malam.
Ia pun memberi contoh penerapan pajak film asing di Thailand. Di Thailand, bea masuk untuk rol film US$1 per meter, sedangkan di Indonesia hanya US$ 0,43 per meter sehingga secara keseluruhan 1 kopi film asing di Thailand bisa dikenakan hingga US$30 juta.
"Kalau 50 kopi, harus bayar 1,5 miliar, belum termasuk PPN dan PPh," ungkapnya.
Oleh sebab itu, lanjut Rudi, wajarlah kalau film asing merajai perfilman dalam negeri. Di Indonesia, ketika film dalam negeri hanya 80 judul film yang beredar, film impor 200 judul. Sedangkan di Thailand, ketika film dalam negeri yang beredar sebanyak 55 film, hanya terdapat 80 film asing yang turut bersaing.
"Di Thailand, ada 200 bioskop, dengan film impor 80 judul, nasional 55 judul," ujarnya.
Dengan demikian, Rudi sepakat dengan sikap pemerintah khususnya Ditjen Bea Cukai yang memasukkan royalti dalam perhitungan bea masuk impor film asing ke Indonesia dan diharapkan dapat menyehatkan perfilman nasional.
"Dengan keputusan ini, merupakan titik utama untuk pengembangan film nasional. Impor selama ini lebih murah dan menjanjikan. Kami harap ada persaingan sehat. Ketika diterapkan, film-film impor yang tidak besar kan berkurang secara otomatis. Bisa jadi peluang film nasional. Apalagi di Indonesia, ada 9 provinsi yang tidak ada bioskop," pungkasnya.
Sumber: detikFinance
No comments:
Post a Comment