Wednesday, August 24, 2011

Tidak Tegas Menyetop PNS

Jakarta - Sinyal yang diberikan Wapres Boediono kepada Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional itu akhirnya menjadi kenyataan. Hampir 2 bulan berlalu, usulan moratorium atau pemberhentian sementara penerimaan PNS yang disampaikan tim, akhirnya diterima pemerintah.

Keputusan dengan tujuan mengurangi beban anggaran negara lewat reformasi birokrasi itu tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri. Penandatanganan dilakukan di hadapan Wapres Boediono, Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Menko Polhukam Djoko Suyanto.

"Sudah ditandatangani," kata Menneg PAN dan RB EE Mangindaan, usai penandatanganan di Kantor Wapres, Rabu 24 Agustus 2011.

Moratorium penerimaan PNS akan dilakukan mulai 1 September 2011 sampai 31 Desember 2012. Moratorium yang disepakati tidak kaku. Tapi selektif. Masih ada beberapa jabatan yang tetap diakomodir dalam rekrutmen tahun ini dan berikutnya.

Aparatur yang masih direkrut selama moratorium itu antara lain tenaga pendidik, kesehatan, sipir penjara dan tenaga mendasar lain yang dibutuhkan pemerintah. Tenaga itu direkrut dengan rincian tertentu. Misalnya guru harus sesuai bidang apa, pelajaran apa, sekolah mana, wilayah mana supaya diketahui jelas nanti penempatannya. "Begitu juga tenaga kesehatan. Kita namakan jabatan khusus dan mendesak," jelas Mangindaan.

Tidak hanya merekrut tenaga secara selektif, pegawai honorer juga masih bisa diangkat menjadi PNS dengan sejumlah verifikasi. Namun pegawai honorer yang bisa diangkat adalah mereka yang diterima sebelum 1 Januari 2005, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48/2005.

Selama masa moratorium, pemerintah daerah juga ditugaskan membuat grand design dan rencana strategis soal kepegawaian selama 5 tahun ke depan. Keduanya harus dilaporkan ke pusat menjelang akhir masa moratorium Desember 2012.

***

Anehnya, meski tujuan moratorium adalah mengurangi beban anggaran, pemerintah belum juga menetapkan target penghematan tersebut. Menkeu Agus Martowardojo belum mau mengungkapkan soal penghematan."Tanya ke menteri PAN," elaknya.

Sementara Mangindaan meyakinkan pasti ada penghematan. Keyakinan Mangindaan itu didasari pada jumlah pensiun PNS yang lebih besar dari perekrutan selektif selama moratorium. "Tahun depan ada seratus berapa belas ribu (yang pensiun), kalau kita terima cuma 150 ribu, sudah beda jauh penghematannya," kata Mangindaan menekankan perbandingan gaji dan tunjangan PNS sebelum pensiun dengan PNS hasil perekrutan baru.

Selain target yang tidak jelas, berapa jumlah PNS yang akan berkurang dengan moratorium itu juga belum dibuat prediksi. Deputi Sumber Daya Manusia (SDM) Kemen PAN dan RB Ramli Naibaho tidak bisa memperkirakan berapa jumlah PNS yang akan berkurang dari pemberlakuan moratorium ini. Pihaknya mengaku tidak terpaku pada berapa jumlah yang harus dikurangi, tetapi menegakkan prinsip the right man on the right place.

Namun Mangindaan mengatakan ratio 1,98 persen jumlah PNS terhadap jumlah penduduk saat ini masih termasuk moderat. Namun variabel yang perlu diperhitungkan pertama adalah produktivitas aparatur, bukan kuantitas.

Dia mengambil contoh, Singapura yang memiliki rasio 2,9 persen, namun produktivitas aparaturnya cukup tinggi. "Semakin banyak dan produktif semakin cepat penerimaan negara. Oleh karenanya makin kaya negara itu jadi jangan terikat 1,98 persen," ujar Mangindaan yang juga tidak bisa menetapkan rasio ideal jumlah PNS di daerah.

***

Jumlah PNS dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2003, jumlah PNS sekitar 3,7 juta orang, kemudian mengalami kenaikan menjadi 4,7 juta orang sampai 2011 ini. Dengan jumlah PNS yang gemuk otomatis juga menggerus anggaran belanja negara. Bahkan seratus lebih Pemda terancam bangkrut gara-gara APBD nya nyaris habis untuk belanja pegawainya.

Masalah PNS dan beratnya beban belanja pegawai menjadi masalah tersendiri dari kemajuan ekonomi Indonesia. "Ini jadi biang kerok permasalahan ekonomi sekarang," kata ekonom Didik J Rachbini.

Moratorium dengan pengecualian rekrutmen selektif jelas merupakan kebijakan yang kurang tegas. Bila ingin menghindarkan ledakan PNS dan mengurangi beban anggaran, semestinya pemerintah melakukan moratorium yang sesungguhnya, yakni benar-benar pemberhentian sementara.

Pemerintah sebaiknya tidak memakai istilah moratorium jika masih bisa mengangkat PNS, meski dengan embel-embel secara selektif. Bila gubernur, bupati masih bisa mengangkat PNS, maka anggaran negara masih bisa dijebol. Di daerah justru perekrutan sering kolutif.

Menurut Didik, untuk mencegah perekrutan PNS yang kolutif oleh kepala daerah, lebih baik pengusulan dan pengangkatan dilakukan secara terpusat.

Anggota Komisi XI DPR Maruarar Sirait menilai yang diperlukan pemerintah saat ini adalah penataan kepegawaian secara utuh dan menyeluruh dengan memerhatikan variabel jumlah, kualitas dan kebutuhan pegawai.

Mengenai alokasi belanja pegawai pada RAPBN-2012 yang justru naik di tengah rencana moratorium, Maruarar menilai itu sebagai hal yang lumrah. Kenaikan Rp 32,9 triliun atau 18 persen dari pagu APBN-P 2011, menurutnya wajar karena pemerintah merencanakan remunerasi dan kenaikan gaji sebesar PNS, TNI/Polri sebesar 10 persen. Belum lagi ditambah asumsi kenaikan inflasi. "Bagaimanapun kita harus objektif," kata politikus PDI Perjuangan ini.

Didik menilai sebaliknya. Menurutnya, kenaikan anggaran belanja pegawai untuk tunjangan reformasi birokrasi harusnya didahului dengan efisiensi. "Mestinya pemerintah melakukan efisiensi dulu baru melakukan perbaikan dalam insentif. Jangan sebaliknya," ujar Didik.

Peneliti dari Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam mengatakan, moratorium PNS bukan semata-mata persoalan anggaran, sebab anggaran selalu akan mengikuti kebutuhan PNS. "Ada pegawai masuk, tapi kan ada juga yang pensiun yang harus menjadi tanggungan negara," kata Roy.

Demi perampingan birokrasi, pemerintah juga harus berani memberikan hukuman kepada aparatur yang "hanya makan gaji buta". Perlu pula diketahui beban berat anggaran negara bukan hanya karena banyaknya jumlah PNS, tapi adanya honor-honor yang diberikan di luar gaji dan tunjangan yang sudah didapat pun memberi andil. Honor seharusnya dihapus sebab sudah menjadi kewajiban pelayanan PNS.

Selain itu, pemerintah juga harus berani membersihkan proses rekrutmen dari unsur-unsur KKN. "Pemerintah harus membuktikan moratorium bukan hanya sebagai pencitraan dan jalan pintas," tegas Roy.

Sumber: detikcom

No comments:

Post a Comment