Melaksanakan kewajiban pajak terasa mudah jika Wajib Pajak (WP) memahami
siklus hak dan kewajiban WP serta membiasakan diri untuk memenuhi
kewajiban perpajakannya dengan mengikuti alur siklus tersebut.
Setelah WP melaksanakan kewajiban mendaftarkan diri untuk
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), masih terdapat 6 kewajiban
pajak lainnya, yaitu: (1) Kewajiban pembayaran pajak; (2) Kewajiban
pemungutan/pemotongan pajak; (3) Kewajiban pelaporan pajak; (4)
Kewajiban pembukuan/pencatatan; (5) Kewajiban dalam hal diperiksa; dan
(6) Kewajiban memberi data.
Dalam hal kewajiban pembayaran,
ada empat hal yang mesti diperhatikan: (1) WP wajib membayar sendiri
pajak terutang, meliputi: pembayaran angsuran Pajak Penghasilan (PPh)
setiap bulan (PPh Pasal 25) dan pembayaran kekurangan PPh selama setahun
(PPh Pasal 29); (2) WP wajib membayar PPh melalui pemotongan dan
pemungutan oleh pihak lain, meliputi PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh
Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15 serta PPh Pasal 26 untuk
Wajib Pajak Luar Negeri; (3) WP wajib membayar PPN kepada pihak penjual
atau pemberi jasa ataupun kepada pihak yang ditunjuk pemerintah; dan (4)
WP wajib membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) melalui Anjungan Tunai
Mandiri (ATM) atau melalui perangkat desa.
Dalam kewajiban
pembayaran pajak, juga meliputi kewajiban untuk membayar atau melunasi
utang pajak yang timbul karena pemeriksaan pajak. Utang pajak akibat
hasil pemeriksaan bisa tercantum dalam: (1) Surat Tagihan Pajak (STP);
(2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB); (3) Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT); (4) Surat Keputusan Pembetulan,
(5) Surat Keputusan Keberatan, dan (6) Surat Putusan Banding yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
Selain
pembayaran yang dilakukan sendiri, terdapat mekanisme pembayaran lainnya
yaitu dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang
ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut,
antara lain yang ditunjuk tersebut adalah bendahara pemerintah, subjek
pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Apabila WP tergolong
sebagai subjek pajak badan dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungut pajak.
Pajak yang telah dibayar tersebut wajib dilaporkan.
Pelaporan pajak dapat disampaikan di tempat-tempat berikut: (1) Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) tempat WP terdaftar atau Kantor Pelayanan,
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di lingkungannya; (2) Drop
Box; (3) e-Filing; dan/atau melalui (4) Mobil Pajak atau Pojok Pajak.
WP menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) sebagai sarana pelaporan dan
pertanggungjawaban penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
Selain
itu, SPT juga digunakan untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan
pajak baik yang dilakukan WP sendiri maupun melalui mekanisme pemotongan
dan pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemotong/pemungut, melaporkan
harta dan kewajiban, dan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang
pemotongan dan pemungutan pajak yang telah dilakukan. SPT terdiri dari
dua macam, yaitu SPT Tahunan dan SPT Masa.
Kewajiban berikutnya adalah pembukuan/pencatatan.
Pembukuan diwajibkan bagi WP Badan dan WP Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, dengan pengecualian apabila
omzetnya dalam satu tahun di bawah Rp4,8 miliar. Sedangkan bagi WP Orang
Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan omzet
di bawah Rp4,8 miliar setahun atau tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas, diwajibkan untuk melakukan pencatatan.
Pembukuan
dilaksanakan untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang
meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah
harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan
menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk
periode Tahun Pajak tersebut. Sedangkan pencatatan dilaksanakan untuk
mengumpulkan data tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau
penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang
terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang
dikenai pajak yang bersifat final.
Jika WP diperiksa,
maka WP wajib: (1) Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri
Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan khususnya untuk jenis
Pemeriksaan Kantor; (2) Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau
catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain termasuk data
yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan
yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas WP, atau objek yang
terutang pajak.
Khusus untuk Pemeriksaan Lapangan, WP wajib
memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk mengakses dan/atau
mengunduh data yang dikelolah secara elektronik; (3) Memberikan
kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan
memberi bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan; (4) Menyampaikan
tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
(5) Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik
khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor; dan (6) Memberikan keterangan
lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan.
Kewajiban terakhir dari WP adalah kewajiban untuk memberi data dan informasi.
Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib
memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang ketentuannya diatur pada Pasal 35A
UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Sebagaimana Telah Diubah Dengan UU Nomor 16 Tahun 2009.
Data dan
informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan
yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha,
penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi
mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas
devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan
usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar DJP.
Tujuh kewajiban WP tersebut diimbangi dengan dua belas hak pokok WP.
Yang pertama adalah hak atas kelebihan pembayaran pajak. Di mana jika
pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari
jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar
atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang,
maka WP mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut.
Pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 bulan sejak surat
permohonan diterima secara lengkap. Khusus untuk WP yang masuk kriteria
WP Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling
lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan
diterima.
Pengembalian ini dilakukan tanpa pemeriksaan. WP dapat
melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui dua
cara: (1) Melalui Surat Pemberitahuan (SPT); atau (2) dengan
mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala KPP. Apabila
DJP terlambat mengembalikan kelebihan pembayaran yang semestinya
dilakukan, maka WP berhak menerima bunga dua persen per bulan maksimum
24 bulan.
Hak yang kedua adalah hak dalam hal dilakukan
pemeriksaan, maka WP berhak: (1) Meminta Surat Perintah Pemeriksaan; (2)
Melihat tanda pengenal pemeriksa; (3) Mendapat penjelasan mengenai
maksud dan tujuan pemeriksaan; (4) Meminta rincian perbedaan antara
hasil pemeriksaan dan SPT; (5) Hadir dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan; dan (6) Meminta review
kepada Kantor Wilayah DJP terkait hasil pemeriksaan.
Hak yang ketiga adalah hak untuk mengajukan keberatan, banding atau gugatan, serta peninjauan kembali.
Di mana berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP, maka
akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak, yang dapat mengakibatkan
pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Jika WP
tidak sependapat maka dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan
tersebut. Selanjutya jika belum puas dengan keputusan keberatan tersebut
maka WP dapat mengajukan banding atau gugatan. Langkah terakhir yang
dapat dilakukan oleh WP dalam sengketa pajak adalah peninjauan kembali
ke Mahkamah Agung (MA).
Hak yang keempat adalah hak kerahasiaan
WP. WP dijamin kerahasiaannya atas: SPT, Laporan Keuangan, data-data
dari pihak ketiga yang bersifat rahasia; dan dokumen atau rahasia WP
lainnya sesuai ketentuan yang berlaku. Selanjutnya delapan hak-hak
lainnya bagi WP meliputi: (1) Hak untuk pengangsuran atau penundaan
pembayaran pajak; (2) hak untuk penundaan pelaporan SPT Tahunan; (3) Hak
untuk pengurangan PPh Pasal 25; (4) Hak untuk pengurangan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB); (5) Hak untuk pembebasan pajak; (6) Pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak; (7) Hak untuk mendapatkan pajak
ditanggung pemerintah; dan (8) Hak untuk mendapatkan insentif
perpajakan.
Dengan memahami siklus hak dan kewajiban WP,
diharapkan setiap WP di Indonesia tidak ragu lagi untuk melaksanakan
kewajiban perpajakan sekaligus menikmati hak-haknya. Bangga bayar Pajak!
Sumber: okezone.com
No comments:
Post a Comment