Pemerintah berencana
mengenakan cukai pada produk minuman berkarbonasi atau bersoda yang
menggunakan pemanis. Selain guna meningkatkan penerimaan negara,
pengenaan cukai ini dilakukan untuk mencegah dampak negatif dari
konsumsi berlebihan produk tersebut.
Pelaksana Tugas Kepala
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Bambang Brodjonegoro,
mengungkapkan bahwa pengenaan cukai ini didasari oleh Undang -undang No
39 Tahun 2007 tentang Cukai.
Dalam UU tersebut, ada
beberapa aspek yang menjadi pertimbangan pemerintah. Antara lain,
mengendalikan konsumsi masyarakat, pemakaian berlebihan dapat berdampak
negatif bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
"Sehingga perlu
pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan," ujar Bambang
di Gedung DPR, Jakarta, Selasa 11 Desember 2012.
Menurut informasi dari
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), konsumsi berlebihan minuman
bersoda dengan pemanis ini dapat berdampak buruk bagi kesehatan seperti
terkenanya penyakit ginjal, gangguan lambung, hati, usus dan obesitas.
"Kami mendapatkan info soal kesehatan ini dari BPOM , sekarang sedang meminta kepada Kementerian Kesehatan," tambahnya.
Bambang menjelaskan,
karena mayoritas industri ini merupakan pemain besar, cukai tersebut
rencananya akan dibebankan pada perusahaan. Sedangkan pelunasannya harus
dilakukan, setelah produksi minuman tersebut selesai dan siap untuk
dijual. "Tanda pelunasannya kami akan pakai barecode," ungkapnya.
Alasan lainnya, menurut
Bambang, adalah potensi pangsa pasar yang besar minuman tersebut di
Indonesia sehingga dapat memberikan penerimaan negara jika dikenakan
cukai.
Berdasarkan data asosiasi
industri minuman saat ini pangsa pasar minuman bersoda dengan pemanis
mencapai 3,8 persen pada 2011 dengan nilai Rp10 triliun. Sedangkan untuk
minuman air mineral dalam kemasan dan minuman teh siap saji jauh lebih
tinggi yaitu 84 persen dan 8,9 persen dengan nilai Rp18 triliun dan Rp12
triliun.
Pihaknya, menurut
Bambang, telah menyiapkan lima pos tarif yang akan diterapkan nantinya
jika kebijakan itu disepakati. Besaran tarif tersebut yaitu sekitar
Rp1.000 per liter dengan potensi penerimaan sebesar Rp800 miliar,
Rp2.000 potensinya Rp1,58 triliun, Rp 3.000 potensinya Rp2,37 triliun,
Rp 4.000 potensinya Rp3,16 triliun, dan Rp5.000 dengan potensi
penerimaan sebesar Rp3,95 triliun.
"Masih ada kemungkinan
meningkat dengan total kosumsi 790,4 juta kilo liter, kalau jumlah
penduduk atau konsumen bertambah," tuturnya.
Bambang menegaskan,
kebijakan ini masih dalam tahapan usulan kepada DPR. Jika disepakati,
pembahasan akan naik ketahap rancangan peraturan pemerintah dan kemudian
akan dibahas kembali oleh DPR.
Sumber: viva.co.id
No comments:
Post a Comment