Monday, August 12, 2013

Sanksi Siap Menanti Pengembang yang Terbukti Hindari Pajak Properti

Jakarta - Penghindaran pajak dalam transaksi properti sudah menjadi fenomena umum dalam bisnis properti. Sehingga Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak akan mengejar potensi kekurangan pembayaran pajak dari transaksi properti.

Sanksi pun siap menanti para pengembang properti yang terbukti melakukan penghindaran pajak, bahkan hingga ke kategori penggelapan pajak.

Menurut Kepala Seksi Hubungan Eksternal Ditjen Pajak Chandra Budi mengatakan, tak ada alasan bagi pengembang untuk menutup-nutupi atau tak mau bekerjasama terkait program pemeriksaan dokumen transaksi properti periode 2011-2012. Chandra menegaskan, Ditjen Pajak memiliki payung hukum untuk melakukan pemeriksaan dokumen terkait perpajakan.

"Pemeriksaan itu wajib, kita dilindungi undang-undang, ada dokumen yang dipinjamkan. Kalau hasil pemeriksaan ada kekurangan maka lebih pada sanksi administrasi yaitu membayar kekurangan dan sanksi, sanksi 2% sebulan dari kekurangan," katanya.

Chandra mengatakan, sanksi lebih keras akan berlaku bagi pengembang properti yang terbukti melakukan penggelapan pajak. Sanksi untuk penggelapan pajak berlaku hukum pidana.

Seperti diketahui, potensi penerimaan pajak dari sektor properti berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 ayat 2 yaitu penghasilan yang diterima penjual (developer, pengembang), karena melakukan transaksi jual beli tanah/bangunan sebesar 5% dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi barang kena pajak berupa tanah/bangunan yang bukan kategori rumah sangat sederhana sebesar 10%.

Sedangkan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dalam transaksi properti adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5%.

Penelitian awal Ditjen Pajak, ada potential loss penerimaan pajak akibat tidak dilaporkan transaksi sebenarnya jual-beli tanah/bangunan termasuk properti, real estate dan apartemen. Hal ini terjadi karena pajak yang dibayarkan menggunakan transaksi berbasis Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bukan berbasis transaksi sebenarnya atau riil.

Sumber: detik.com

No comments:

Post a Comment