Sunday, April 13, 2014

Modus Lama, Faktur Berdasarkan Transaksi Fiktif

Jakarta: Pengamat kebijakan perpajakan dari Perkumpulan Prakarsa, Yustinus Prastowo, menyatakan, praktek penerbitan faktur pajak tidak berdasarkan transaksi perusahaan merupakan modus lama penyimpangan pajak. "Yang harus diwaspadai pemerintah adalah faktur asli dengan substansi transaksi fiktif," ujarnya kepada Tempo, Minggu, 6 April 2014.

Dia menjelaskan, penerbitan faktur pajak tidak berdasarkan transaksi perusahaan sebenarnya tersebut biasanya terjadi sebelum 2012. Yustinus mengungkapkan, melalui pola ini, beberapa perusahaan melakukan transaksi fiktif melalui sindikasi. Transaksi ini tanpa melibatkan barang maupun jasa riil, namun bisa memproduksi dokumen dan restitusi.

Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam sindikasi ini, kata Yustinus, biasanya melakukan transaksi fiktif untuk menutupi persyaratan perusahaan aktif. Ada dua keuntungan yang dinikmati perusahaan-perusahaan ini. Pertama, mereka bisa menikmati restitusi dari transaksi fiktif. Kedua, perusahaan dalam sindikasi mampu menerbitkan faktur fiktif untuk perusahaan lain.

Sebelumnya, tim penyidik Direktorat Jenderal Pajak dan Badan Reserse Kriminal Polri menangkap penerbit faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya, yaitu Z alias J alias B, pada 3 April silam. Pengungkapan kasus dimulai pada 2012, melalui penyidikan terhadap Soleh alias Sony dan Eryantidan Tan Kim Boen alias Wendry.

Selanjutnya, penuntutan telah dilakukan dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberi putusan tanggal 23 Agustus 2010. Z alias J alias B dan saudaranya, D alias A alias R yang masih buron adalah penerbit faktur pajak yang dimaksud. Faktur tersebut diterbitkan tidak didasarkan transaksi sebenarnya, melalui perusahaan PT SIC, PT IGP, PT GIK, PT BSB, PT KGMP, PT BIS, PT BUMP, PT CDU, PT MNJ, PT SPPS serta PT PML, sepanjang 2003-2010.

Negara diperkirakan mengalami kerugian pendapatan Rp 247,44 miliar. Direktorat Jenderal Pajak menjelaskan, Z dan D mendirikan perusahaan-perusahaan itu dan menggunakan nama-nama fiktif sebagai pengurus serta pemegang saham. Z dan D pun meminta anak buah mereka, antara lain Soleh alias Sony, untuk menandatangani faktur pajak serta SPT Masa PPN perusahaan-perusahaan tersebut. Kemudian, faktur pajak yang diterbitkan dijual kepada perusahaan-perusahaan yang ingin menggunakannya untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.

"Karena jika volume penjualan tinggi, PPN akan terlalu besar sehingga diperlukan pajak masukan untuk PPN keluaran," ujar Yustinus.

Sumber: Tempo.co

No comments:

Post a Comment