Thursday, February 19, 2015

Kebijakan Ditjen Pajak Sebabkan "Rush" di Perbankan, Ini Kesaksian Bankir

JAKARTA - Untuk sementara waktu, kalangan bankir dan pemilik deposito menang. Sebab Kementerian Keuangan akan menunda penerapan Peraturan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Nomor PER-01/PJ/2015 tentang Penyerahan Bukti Potong Pajak atas Bunga Deposito.

Peraturan yang sedianya berlaku mulai 1 Maret 2015 itu ditunda tanpa batas waktu. "Saya tegaskan, peraturan Dirjen Pajak itu tidak diberlakukan dulu," tandas Bambang Soemantri Brodjonegoro Menteri Keuangan, di kantornya, Rabu (18/2/2015).

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak akan mengeluarkan payung hukum baru tentang penundaan aturan itu. "Kami memang belum sepenuhnya siap menjalankan peraturan itu," kata Sigit Priadi Pramudito, Direktur Jenderal Pajak.

Sebelumnya, Mardiasmo, Wakil Menteri Keuangan yang sempat menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Pajak menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak No.PER-01/PJ/2015 tentang Pemotongan Pajak Deposito pada 26 Januari 2015. Dalam beleid itu, Ditjen Pajak mewajibkan perbankan untuk menyerahkan data bukti potong Pajak Penghasilan (PPh) atas bunga deposito dan tabungan milik nasabah secara rinci.

Sebelumnya bank hanya melaporkan pemotongan pajak bunga deposito secara gelondongan atau umum saja. Perdirjen tersebut menitahkan agar bank menjelaskan secara rinci setiap nasabah, termasuk bukti potongnya, ke aparat pajak. Peraturan ini membuat bankir khawatir. Sebab aparat pajak bisa mengetahui nilai simpanan deposito milik nasabah.

Jika merasa tak nyaman, para pemilik simpanan deposito bisa saja mencabut dana simpanannya dan menyimpannya di perbankan luar negeri. "Itu yang saya ngeri," kata Gatot M. Suwondo, Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memprotes peraturan ini. Alasannya, peraturan ini menabrak Undang-Undang Perbankan yang menegaskan data nasabah bersifat rahasia, kecuali untuk kepentingan pemeriksaan, penyidikan dan bukti permulaan.

Sedangkan dalam Perdirjen tersebut, aparat pajak tak sedang memeriksa atau menyidik perkara. "Data nasabah tak boleh dibocorkan atau diminta secara langsung, hanya boleh diminta jika ada masalah pengemplangan pajak," kata Mulya E. Siregar, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perbankan I OJK.

Pengamat pajak Yustinus Prastowo menilai, Ditjen Pajak punya cara lain untuk mengakses data bank. Misalnya, lewat kerja sama dengan Pusat Kajian Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), OJK, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Lewat PPATK, Ditjen Pajak menerima laporan transaksi mencurigakan sebagai bukti awal. "Perlu peraturan presiden sebagai payung hukumnya," katanya.

Sumber: kompas.com

No comments:

Post a Comment