Saturday, April 30, 2016

Prioritaskan UU Tax Amnesty Pemerintah Belajar dari Masa Lalu

Jakarta - Pemerintah pernah dua kali menerapkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yakni pada Orde lama dan Orde Baru. Namun, keduanya dianggap kurang berhasil karena hanya bermodalkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai payung hukumnya.

Mekar Satria Utama, Direktur P2 Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan, kebijakan amnesti pajak pertama kali dilakukan pada 1964 ketika Indonesia masih dipimpin oleh Soekarno. Kebijakan yang sama kembali dilakukan pada 1984, ketika Pemerintahan Soeharto sangat membutuhkan dana untuk pembangunan.

"Pada waktu itu kurang berhasil. Analisisnya macam-macam, antara lain karena dasar hukumnya dianggap kurang kuat, hanya dalam bentuk PP," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (29/4).

Selain karena faktor kebutuhan anggaran, Satria mengatakan alasan penggunaan PP sebagai dasar penerapan tax amnesty pada 1984 juga karena terjadi peralihan rezim perpajakan, dari yang awalnya official-assessment menjadi self assessment.

Dengan sistem official-assessment, besar kewajiban pajak yang seharusnya terutang ditetapkan sepenuhnya oleh fiskus. Saat ini kondisi yang berlaku adalah sebaliknya, di mana dengan self assessment memberikan kewenangan kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri jumlah pajak terutangnya.

"Kali ini kenapa kita dorong PP (Deklarasi Pajak), karena sebagai alternatif untuk mengantisipasi kalau RUU Tax Amnesty tidak disetujui (DPR). Tapi kami berharap itu disetujui," tuturnya.


Tarif Rendah

Meskipun hanya bermodalkan PP, Satria mengungkapkan tarif uang tebusan amnesti pajak yang diberlakukan pada 1964 dan 1984 lebih rendah dari tarif PPh yang seharusnya. Posisi politik pemerintah yang cukup kuat dinilainya sebagai faktor utama berjalan mulusnya kebijakan tax amnesty bermodalkan PP tanpa resistensi berarti dari parlemen.

"Jadi meskipun PP, otomatis bisa dianggap UU. Waktu itu cukup dengan PP dan tarifnya itu hanya 1 persen bagi yang punya NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan 10 persen bagi yang tidak memiliki NPWP," jelasnya.

Seiring dengan berkembangnya pemahaman hukum masyarakat dan semakin dinamisnya politik, Satria mengatakan saat ini kekuatan RPP Deklarasi Pajak tidak akan setara dengan RUU Pengampunan Pajak.

"Karena PP, maka tarifnya diatur oleh UU PPh. Jadi kemungkinan besar tidak bisa melewati (batas tarif) di UU PPh. Tapi itu masih akan dibahas," tuturnya.

Menurut Satria, semangat dari RUU Tax Amnesty maupun RPP Deklarasi Pajak sama, yakni untuk menarik kembali dana-dana wajib pajak yang selama ini diendapkan di luar negeri.

Selain repatriasi aset, lanjutnya, urgensi dari kebijakan amnesti pajak adalah untuk memperluas basis perpajakan menjelang implementasi keterbukaan informasi perpajakaan dan perbankan yang berlaku secara internasional mulai 2018. Ini merupakan bagian dari The Offshore Voluntary Disclosure Program (OVDP), yang didorong untuk mengungkap atau mendeklarasi kewajiban-kewajiban pajak seluruh warga negara.

"Jadi kemungkinan repatriasi aset akan diatur dalam RPP dan tarifnya mungkin bisa lebih rendah (dibandingkan yang non-repatriasi). Tapi itu masih akan dibahas," tuturnya.

Namun, Satria mengatakan DJP lebih optmistis tax amnesty berhasil jika didukung oleh UU Pengampunan Pajak. "Kalau cukup hanya dengan PP, dari dulu saja kita langsung lakukan tanpa mengajukan RUU Tax Amnesty," tandasnya.

Sumber: cnnindonesia.com

No comments:

Post a Comment