Tuesday, January 17, 2017

Aturan Baru Sri Mulyani Tangani Wajib Pajak Nakal Kelas Kakap

Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru saja mengeluarkan aturan baru di bidang pajak. Aturan dengan Nomor 213/PMK.03/2016 memuat jenis Dokumen atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi Dengan Para Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Tata Cara Pengelolaannya.

Tujuannya adalah untuk menghindari kenakalan para wajib pajak kelas kakap seperti perusahaan yang memiliki aviliasi di luar negeri (multinasional) agar tidak lari dari kewajiban pajak menggunakan skema transfer pricing.

Transfer pricing adalah suatu kebijakan perusahaan dalam menentukan harga transfer suatu transaksi barang dan jasa, harta tak berwujud ataupun finansial yang dilakukan oleh perusahaan.

Dalam kaitannya dengan pajak, perusahaan bisa menggunakan skema tersebut untuk meminimalkan pembayaran pajak. Jadi perusahaan mengalihkan keuntungan dari satu negara ke negara lain dengan asumsi tarif pajak yang lebih rendah.

"Kita menjalin kesepakatan internasional terkait dengan base action 13 yang dikeluarkan oleh G20, itu kewajiban menyelenggarakan TP dokumentasi," kata Direktur Perpajakan Internasional DJP John Hutagaol dalam acara ngobrol santai di Kantor Pajak Pusat, Jakarta, Selasa (17/1/2017).

PMK nomor 213 Tahun 2016 ini menyempurnakan PERDIRJEN Pajak Nomor 32/PJ/2011 yang hanya mengatur transfer pricing yang menggunakan saluran transfer dana di luar negeri. "Latar belakang mengapa kami keluarkan PMK ini, diantaranya karena amanat PP 74 di pasal 10. Untuk menyempurnakan konten pengaturan yang di PERDIRJEN Pajak Nomor 32/2011 yang tidak mengatur secara jelas bentuk-bentuk dokumen," tambahnya.

John menjelaskan, dalam aturan ini diwajibkan kepada perusahaan dari induk perusahaan hingga anak perusahaan yang sama untuk melaporkan yang mencakup yuridiksi, peredaran bruto, laba atau rugi sebelum pajak, pajak penghasilan yang telah terpotong atau dipungut atau dibayar sendiri, serta PPh terutang.

"Di PMK ini berlaku untuk onshore dan offshore, karena terbukti transfer pricing di domestik untuk sebabkan harmful di perpajakan jadi menyebabkan distorsi terhadap perekonomian dalam negeri," jelasnya.

Beleid ini juga mewajibkan perusahaan group besar menyiapkan local file dan master file yang sifatnya alternatif. Di mana, jika perusaah tersebut punya omset Rp 50 miliar maka wajib menyelenggarakan master file dan local file.

Lalu, jika perusahaan group memiliki hubungan istimewa dengan negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah dari Indonesia, maka diwajibkan untuk menyelenggarakan master file dan local file yang paling lambat 4 bulan setelah SPT.

Tidak hanya itu, untuk induk perusahaan yang memiliki omset di atas Rp 11 triliun, diwajibkan menyiapkan dokumen seperti local file, master file dan country by country report (CbCR). Dengan begitu, kata John, Ditjen Pajak bisa meminimalisir potensi penghindaran pajak melalui skema transfer pricing.

"Bagi PMA di Indonesia yang induknya berasal dari negara yang tidak wajibkan selenggarakan CBCR, PMA tadi tetap wajib sampaikan CBCR ke DJP, termasuk bila Indonesia tidak memiliki perjanjian dengan negara tempat induk PMA tersebut," kata dia.

Pada kesempatan yang sama, Kasubdit Pencegahan dan Penanganan Sengketa Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Achmad Amin mengatakan, PMK 213/2016 meminimalisir potensi penghindaran pajak oleh perusahaan group besar yang memiliki jaringan di luar negeri.

"Domestik transfer pricing ini terbukti digunakan juga untuk menghindari pajak. Contoh, ada satu grup usaha yang salah satunya dapat tax holiday, jadi labanya di-shifting ke perusahaan yang dapat insentif ini. Atau ada yang dibuat rugi menahun tapi masih hidup, bahkan ada yang lahir 20 tahun lalu sampai sekarang rugi. Ini digunakan juga oleh wajib pajak. Ini yang jadi concern kenapa tidak ada pembedaan dengan onshore dan offshore," jelas dia.

Sumber: detik.com

No comments:

Post a Comment