Thursday, August 19, 2010

Pajak ditanggung pemerintah tak masuk APBN

JAKARTA - Ekonom Sustainable Development Indonesia Dradjad Hari Wibowo menilai mekanisme pajak ditanggung pemerintah (DTP) tidak perlu lagi dicatat dalam APBN baik sebagai penerimaan maupun belanja.

"Tidak perlu lagi karena secara akuntansi, itu juga praktik yang salah," kata mantan anggota Komisi XI DPR itu kepada Bisnis hari ini.

Pernyataan Dradjad tersebut menanggapi kebijakan pemerintah yang tetap menggunakan istilah pajak DTP dalam RAPBN 2011. Dalam draf RUU APBN 2011, pemerintah tetap menggunakan istilah pajak DTP dalam menanggung beban pembayaran pajak senilai Rp12,75 triliun yang terdiri dari PPh DTP dan PPN DTP.

Menurut dia, penggunaan mekanisme pajak DTP terlalu 'abu-abu' dan hanya Indonesia yang menggunakan istilah tersebut. "Yang baku ya bebas atau dikecualikan dari pajak [tax exception]," ujarnya.

Secara substansi, jelasnya, mekanisme pajak DTP adalah membebaskan wajib pajak untuk tidak membayar pajak. "Ya sudah karena tidak ada pajak yang dibayar, disebut saja bebas pajak. Toh tidak ada cash flow bagi negara. Karena itu sebaiknya DTP dihapuskan saja," tuturnya.(luz)

Pemerintah tanggung pajak Rp12,75 triliun 2011

JAKARTA - Meski Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengkritisi mekanisme pajak ditanggung pemerintah (DTP), pemerintah tetap mengalokasikan pajak DTP sebesar Rp12,75 triliun pada tahun depan, yang terdiri dari pajak penghasilan (PPh) DTP dan pajak pertambahan nilai (PPN) DTP.

Hal itu terungkap dalam RUU APBN 2011 yang diperoleh Bisnis, hari ini.

Dalam RUU itu disebutkan target penerimaan pajak dari PPh dipatok sebesar Rp414,49 triliun yang sudah termasuk PPh DTP atas komoditas panas bumi sebesar Rp1 triliun, PPh DTP bunga imbal hasil atas SBN yang diterbitkan di pasar internasional sebesar Rp1,5 triliun, serta PPh DTP atas hibah dan pembiayaan internasional dari lembaga keuangan multilateral sebesar Rp1 triliun.

Sementara target penerimaan untuk PPN ditetapkan sebesar Rp309,33 triliun, termasuk PPN DTP atas bahan bakar minyak jenis tertentu dan elpiji tabung ukuran 3 kilogram bersubsidi sebesar Rp6 triliun, PPN DTP atas pajak dalam rangka impor (PDRI) eksplorasi hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi sebesar Rp2,75 triliun, dan PPN DTP atas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebesar Rp500 miliar.

Pelaksanaan dari semua pajak DTP tersebut nantinya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan hasil audit atas LKPP 2009 menyoal mekanisme pajak DTP pemerintah yang dinilai belum memiliki pengaturan yang jelas atas mekanisme pejak DTP, sehingga hal itu berpotensi disalahgunakan dalam memberikan informasi penerimaan perpajakan yang tidak sesuai dengan prestasi sesungguhnya.

Mekanisme pajak DTP merupakan pembayaran pajak yang ditanggung pemerintah dengan cara mengakui beban belanja subsidi dan pada saat bersamaan mengakuinya sebagai penerimaan dalam jumlah yang sama. Akibatnya, mekanisme pajak DTP tersebut akan menambah penerimaan pajak tetapi sekaligus menambah pengeluaran negara, sehingga tidak ada penambahan kekayaan bersih karena penambahan uang kas akibat transaksi ini tidak ada.

Dengan kata lain, tidak ada penerimaan yang riil akibat penggunaan mekanisme tersebut. Hasil pemeriksaan BPK atas LKPP 2009 menemukan pembebanan pajak DTP atas subsidi bahan bakar minyak 2009 sebesar Rp21,4 triliun, padahal pagu anggaran yang ditetapkan dalam APBNP 2009 untuk DTP pajak pertambahan nilai (PPN) BBM bersubsidi PT Pertamina hanya Rp3 triliun.

Oleh karena belanja tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dan seharusnya tidak dicatat, maka BPK beranggapan penerimaan pajak sejumlah yang sama seharusnya tidak diakui oleh pemerintah sebagai penerimaan pajak.(er)

Oleh: Achmad Aris

Sumber: Bisnis.com

No comments:

Post a Comment