Tuesday, December 28, 2010

PP Cost Recovery Atur Soal PPh Final Maksimal 7% Bagi KKKS

Jakarta - Pemerintah akan mengenakan pajak penghasilan final (PPh) maksimal 7% atas keuntungan dari aktivitas kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas di
luar yang disepakati dengan pemerintah.

Direktur Peraturan Perpajakan Ditjen Pajak Syarifuddin Alsjah menyatakan aturan tersebut terdapat dalam Peraturan pemerintah No.79/2010 yang merupakan revisi atas ketentuan lama cost recovery.

"Kalau kontraktor memperoleh penghasilan lain selain yang ada di dalam kontrak, maka dia dikenakan pajak. Contoh mengalihkan saham pada kontraktor lain, maka gain-nya dikenakan pajak karena asetnya di Indonesia. Partisipasi interest harus kena pajak dan diatur secara final," ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Kementerian Keuangan, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Selasa (28/12/2010).

Syarifuddin menyatakan Presiden sudah menandatangani Peraturan Pemerintah No.79/2010 tentang Cost Recovery seminggu yang lalu. Proses perumusan PP tersebut sudah berlangsung selama dua tahun yang melibatkan Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, BP MIgas, dan para pelaku kepentingan (stakeholder).

"Untuk pengalihan participating interest sudah diatur akan dikenakan PPh yang sifatnya final atas gain yang diperoleh sebesar 5% dari jumlah bruto
pengalihanya. Itu pada masa eksplorasi. Dasarnya UU PPh pasal 26 dan rata-rata di-deem untuk memudahkan pengenaan pajaknya. Tapi kalau pada
masa eksploitasi tarifnya naik jadi 7%," paparnya.

Namun, lanjut Syarifuddin, aturan tersebut dikecualikan untuk pengalihan saham terhadap daerah atau investor lokal, maka akan dibebaskan dari PPh.

"Kan KKKS wajib mengundang investor lokal untuk ikut dalam partisipasi kontrak KKKS. Karena ketentuan itu wajib menjual kepada lokal, itu dikecualikan. Selama ini dikenakan dengan tarif lebih besar, secara umum dikenakan 20%. Sekarang 5% pada masa eksplorasi dan 7% di masa eksploitasi," jelasnya.

Syarifuddin menyebutkan ada tiga prinsip yang mendasari terbitnya PP tersebut. Pertama, aturan baru cost recovery tidak memengaruhi kontrak kerjasama
migas yang sudah ada (excisting contract). Artinya, pemerintah tetap menghotmati apa-apa yang sudah ditanda-tangani dengan apra kontraktor migas lama.

"PP ini hanya mengatur yang belum diatur dari yang selama ini ada ketidakpastian sehingga perlakuanya menjadi berbeda-beda. Dengan PP ini
diharapkan ada kepastian hukum, mana yang boleh dan tidak boleh," ujarnya.

Kedua, lanjut Syarifuddin, kebijakan cost recovery tersebut sesuai dengan Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan baru yang mengamanatkan revisi PP cost
recovery. Ketiga, kebijakan baru tersebut dilakukan sesuai dengan harga wajar dan prinsip-prinsip kewajaran atau sesuai dengan praktik bisnis dan
keteknikan yang baik.

“Ada hal-hal yang tidak boleh dibebankan dalam cost recovery, tadinya ada 17 item, dalam PP ini ditambah menjadi 24 jenis biaya yang tidak boleh
dibebankan,” ungkapnya.

Selain itu, dalam rangka meningkatkan produksi migas, Syarifuddin menyatakan kontraktor dibebaskan pungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) pada saat impor barang-barang untuk kebutuhan operasi. Untuk KKKS lama (excisting contract), ada 8 item yang harus menyesuaikan dengan PP baru tersebut.

“Untuk itu diberikan waktu bagi excisting contract disesuaikan dengan PP baru dalam waktu tiga bulan,” jelasnya.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo menilai ketentuan baru cost recovery dibuat harus agak berimbang, tidak terlalu memberatkan atau
menguntungkan salah satu pihak. Hal ini untuk menghindari kasus lonjakan harga minyak pada 2008-2009 yang mana negara tidak diuntungkan dari fenomena
tersebut.

“Jangan terlalu tajam, nanti takut kaya 2008-2009, ketika harga minyak US$140 per barel, tapi kita tidak menikmati. Kami perbaiki governance-nya,
tapi juga memberi kepastian investor sehingga nyaman dan yang belum masuk mau masuk," tandasnya.

Sumber: detikFinance

No comments:

Post a Comment