Monday, December 6, 2010

Tax Ratio Indonesia 15,7 Persen

BOGOR, KOMPAS.com - Tax ratio atau rasio penerimaan perpajakan terhadap Produk domestik Bruto atau PDB yang dimiliki Indonesia sesungguhnya jauh lebih tinggi dari asumsi yang ditetapkan dalam APBN Perubahan atau APBN-P 2010 atau APBN 2011, yakni 12 persen dan 12,1 persen. Tax ratio Indonesia sebenarnya mencapai 15,7 persen jika seluruh penghasilan perpajakan yang diterima pemerintah daerah dihimpun dalam satu tempat yang sama.

"Saat dibahas di DPR diketahui bahwa jika semua pajak pusat, daerah, dan sumber daya alam dihimpun dalam satu tempat maka tax ratio akan mencapai 15,7 persen. Artinya gap (perbedaan) dengan negara lain jadi lebih tipis. Dalam penetapan APBN setiap tahun, tax ratio itu juga sudah diperhitungkan dengan penerimaan perpajakan netonya baik policy measures (kebijakan pemerintah yang bisa negatif atau positif pada penerimaan pajak) atau administrative measures (ekstensifikasi dan intensifikasi pajak)," ungkap Direktur Jenderal Pajak Mohammad Tjiptardjo di kawasan Gunung Geulis, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (4/12/2010) malam saat berbicara dalam talk show tentang kebijakan perpajakan dengan media massa.

Menurut Tjiptardjo, kebijakan perpajakan memiliki dua fungsi yakni fungsi budgeter (menghimpun penerimaan sebesar-besarnya untuk mendanai jalannya pemerintahan) dan fungsi regulasi (mengatur). Kedua fungsi itu saling bertolak belakang.

Jika fungsi regulasi yang diutamakan, maka artinya ada ongkos yang harus ditanggung Pemerintah, karena ada sebagian pendapatan perpajakan yang dikorbankan. Sebagai contoh, jika Pemerintah ingin mendorong pertumbuhan sektor industri, maka ada insentif yang diberikan, biasanya dalam bentuk keringanan pajak. Langkah ini diharapkan akan mendorong kesehatan keuangan korporasi, namun penerimaan negara akan terpangkas.

Namun sebaliknya, tarif pajak juga bisa dinaikkan dalam hal pemerintah daerah berniat mengurai kemacetan di kotanya. Pemerintah daerah dapat menaikkan tarif pajak kendaraan bermotor agar pembelian kendaraan berkurang, sehingga tidak memadatkan jalan raya. Hal yang sama juga diterapkan pada saat pemerintah berusaha menekan konsumsi rokok dengan cara menaikkan tarif cukai.

Salah satu insentif yang diberikan oleh Pemerintah terhadap industri tertentu adalah insentif yang diatur Pasal 31A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) seperti telah diubah menjadi UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh. Aturan ini juga telah didetailkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2007 dan telah diubah menjadi PP Nomor 62 Tahun 2008.

Atas dasar ketentuan itu, kepada wajib pajak yang menanamkan modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/ atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional mendapatkan fasilitas perpajakan sebagai berikut:

a. Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30 persen dari penanaman modal;
b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat
c. Kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 tahun.
d. Pengenaan PPh atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10 persen, kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.

"Semua insentif diberikan dalam kaitan dengan Pasal 31 A itu," kata Tjiptardjo.

Sebagai informasi, target penerimaan pajak yang harus dihimpun oleh pemerintah pada tahun 2010 adalah sebesar Rp 663 triliun. Lalu pada tahun 2011 dinaikkan menjadi 707 triliun dan pada tahun 2014 ditargetkan senilai Rp 1.000 triliun.

Sumber: Kompas.com

No comments:

Post a Comment