Thursday, January 27, 2011

IRONI SEBUAH MENARA GADING...

Berikut sebuah artikel yang ditulis oleh salah seorang dari anggota kompasiana mengenai kondisi di suatu institusi yang saat ini menjadi sorotan utama publik. Tampaknya penulis artikel ini adalah orang yang sangat mengenal institusi ini. Berikut artikelnya:

"Ironi Sebuah Menara Gading"

Oleh: Suryandaru Rineksa Kawuryan | 27 January 2011 | 06:33 WIB

Mereka dihinakan tanpa daya

Ya……. tanpa daya

Orang-orang harus dibangunkan

Aku bernyanyi menjadi saksi

Kesaksian, Kantata Taqwa

Pada suatu waktu angin telah dan tengah berhembus kencang ke dalam relung sebuah institusi pengelola penerimaan negara. Hembusan angin yang diharapkan agar institusi tersebut dapat berbenah ke arah yang lebih baik dalam melaksanakan dan menjaga amanah yang ditasbihkan oleh para pemilik negara. Gegap gemuruh menjiwai insan-insan dalam instansi tersebut yang berharap akan adanya perubahan.

Sebuah perubahan yang diharapkan dapat menuntunnya menjadi insan yang lebih amanah dan hanif yang mana atas segala tindakannya dapat dipertanggungjawabkan kepada bangsa dan negara, terlebih kepada Tuhannya. Sebuah perubahan adalah keniscayaan.

Dalam deru waktu, survey AC Nielsen tahun 2005 menunjukkan bahwa pelayanan pajak di unit-unit instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak memberikan tingkat kepuasan yang sangat tinggi, yakni sebesar 81, lebih besar dari rata-rata tingkat kepuasan nasional sebesar 75. Selanjutnya, berdasarkan data hasil survey Transparency International Indonesia, sejak tahun 2008 DJP tidak lagi masuk dalam intitusi yang dinilai paling korup di Indonesia. Termasuk juga hasil survei KPK dan Transparency International Indonesia pada tahun 2010 menunjukkan bahwa unit-unit instansi vertikal DJP mendapatkan nilai 6,7 dalam hal integritas pelayanan publik, di atas standar minimal yang ditetapkan. DJP juga meraih ranking 4 dari 183 Unit pada 18 K/L dan 8 Pemda dengan nilai tertinggi pada kode etik pada tahun 2010.

Dari sisi pencapaian target penerimaan, pada tahun 2008 realisasi penerimaan pajak yang dihimpun oleh DJP mencapai 105,9 %. Pada tahun 2009 mencapai 97,99 % dan pada tahun 2010 mencapai 98,1 %. Memang benar bahwa pada dua tahun terakhir pencapaian di bawah 100 %, namun perlu diingat bahwa pada tahun 2010 ketika badai besar sedang melanda DJP dengan ulah seorang yang bernama Gayus Tambunan, DJP masih mampu meningkatkan tingkat pencapaian penerimaannya dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tentunya dalam hal ini, besaran target penerimaan pajak tahun 2010 meningkat lebih besar dibanding tahun 2009.

Seorang Gayus bukanlah representasi dari keseluruhan pegawai DJP yang berjumlah sekitar 32 ribu orang. Masih banyak insan-insan DJP yang masih mampu menjaga amanah yang ditasbihkan kepadanya, yang masih mampu menjaga kehormatan dirinya dan yang masih mampu secara teguh menjaga prinsip-prinsip nilai-nilai suci dalam dirinya.

Namun apa naifnya, sungguh akan terasa janggal ketika mereka-mereka yang merasa terhormat melihat keseluruhan pegawai DJP dengan kaca mata kuda sebagaimana yang dikenakan ketika melihat sosok seorang Gayus. Dengan dalih stigma yang mereka sematkan kepada DJP, mereka ciptakan ruang keleluasaan untuk turut bermain-main di dalam rumah yang bernama DJP tersebut. Alih-alih mengawinkan dua menara gading untuk kemaslahatan rakyat, mereka-mereka yang merasa terhormat justru menciptakan jurang pembatas untuk gerak langkah DJP dalam rangka penegakan hukum perpajakan. Dengan meminjam tangan pemilik menara gading yang lain, mereka-mereka yang merasa terhormat mengebiri DJP dengan segala ancamannya. Hal ini sungguh berkebalikan dengan segala maklumat mereka yang mengatasnamakan koreksi dan kritik kepada DJP, namun di sisi lain apa yang mereka lakukan adalah menebar onak dan duri pada jalan DJP dalam rangka penegakan hukum. Apakah mereka-mereka yang merasa terhormat tersebut tidak sadar akan hal ini ? Entahlah, karena pada dasarnya kesadaran tersebut adalah entitas yang tunggal.

Ataukah memang, bahwa era reformasi birokrasi yang sekarang tengah menjiwai DJP adalah suatu ancaman bagi kepentingan-kepentingan mereka-mereka yang merasa terhormat tersebut ? Atau setidak-tidaknya adalah ancaman bagi kepentingan pihak lain yang dekat dan dengan mudahnya memanfaatkan menara gading mereka-mereka yang merasa terhormat tersebut ? Dengan segala kewenangan yang mereka miliki, mereka mampu untuk mamaksakan perubahan ketentuan yang belum tentu akan memberikan sisi positif bagi pelaksanaan tugas DJP di masa mendatang.

Adalah kenyataan saat ini, bahwa DJP tengah menjadi arena permainan mereka-mereka yang merasa terhormat tersebut. Dengan kenyamanan duduk di atas menara gading, mereka-mereka yang merasa terhormat dapat bermain roman muka di depan rakyat ataupun di depan petinggi-petinggi mereka sembari memilin kepentingan-kepentingan mereka dalam rajutan impian-impiannya. Namun tanpa disadarinya bahwa membaiknya angka Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia salah satunya karena adanya reformasi birokrasi di DJP, dan bukan karena kinerja mereka-mereka yang merasa terhormat tersebut.

Sebuah aristokrasi yang dibangun di atas kekuasaan yang nyaris mutlak dengan segala kewenangannya untuk menerobos batas-batas antar menara gading akan cenderung memaksakan lahirnya warna-warna sesuai dengan selera para pelakunya. Tanpa disadarinya, kekuasaan yang nyaris mutlak tersebut acap kali memperdayai pihak lain.

Ya, DJP sedang dihinakan tanpa daya. Namun orang-orang harus dibangunkan untuk suatu kesadaran bersama bahwa saat ini DJP tengah berupaya untuk berubah ke arah yang lebih baik. Dan saya berdiri di sini untuk menjadi saksi atas hal tersebut. Dan semoga juga kesadaran tetap disemayamkan oleh-Nya pada diri mereka-mereka yang merasa terhormat tersebut. (Suryandaru Rineksa Kawuryan)

Sumber: kompasiana.com

No comments:

Post a Comment