Sunday, February 6, 2011

Hati-hati Periksa Para Wajib Pajak

JAKARTA, KOMPAS.com — Kecenderungan pemerintah memeriksa wajib pajak yang terkait dengan Gayus Tambunan dengan menggunakan aparat hukum sebaiknya disikapi secara hati-hati. Pasalnya, pemeriksaan wajib pajak yang belum tentu bersalah secara pidana hanya bisa dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Kementerian Keuangan sebaiknya tidak kalap dengan memberikan data wajib pajak yang belum tentu bersalah kepada aparat kepolisian atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya karena ingin memenuhi instruksi Presiden atas penyelesaian kasus Gayus Tambunan.

”Saat ini ada 151 perusahaan yang diperiksa bersama oleh Kementerian Keuangan, KPK, dan Polri. Mereka belum tentu bersalah karena memang harus melalui Gayus saat mengajukan keberatan sehingga sebenarnya hanya bisa diperiksa Ditjen Pajak. Jangan salah kaprah seperti itu. Dalam posisi ini, baik wajib pajak maupun aparat pajak sama-sama dalam posisi sulit sehingga perlu dilindungi,” ujar pengamat pajak Universitas Indonesia, Darussalam, di Jakarta pekan lalu.

Menurut dia, posisi aparat pajak juga sulit karena munculnya Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 10/KMK.03/2011 bertanggal 11 Januari 2011. KMK ini mengatur Pedoman Pelaksanaan Penanganan Pengenaan Sanksi Sesuai Peraturan Pasal 36A Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP sebagaimana Diubah Beberapa Kali dan Terakhir dengan UU No 16/2009.

Dalam aturan ini ditegaskan, petugas pajak yang lalai atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan peraturan perpajakan diancam sanksi kepegawaian. Pegawai pajak juga diancam Pasal 368 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan UU Tindak Pidana Korupsi.

KMK ini sebenarnya tidak perlu diterbitkan dengan dua alasan. Pertama, substansi yang diatur dalam KMK itu sama dengan isi Pasal 36A UU KUP yang tidak mendelegasikan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut.

Kedua, suasana psikologis saat ini menunjukkan aparat pajak sedang terbebani oleh isu penyelesaian kasus Gayus Tambunan dan secara institusi sedang disorot masyarakat. Penanganan hukumnya yang melibatkan Badan Reserse Kriminal Polri dan KPK dalam memeriksa 151 perusahaan yang diurus Gayus hanya menunjukkan pemerintah sedang kalap.

”Dengan munculnya KMK ini, Kementerian Keuangan seperti overacting (bersikap berlebihan). Perlu diketahui juga, dalam Pasal 36A Ayat 5 UU KUP dinyatakan bahwa pegawai pajak tidak dapat dituntut perdata ataupun pidana jika dalam pelaksanaan tugasnya didasari iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya.

Efek jera

Pengamat pajak, Ruston Tambunan, mengatakan, hanya aparat pajak yang nakal dan tidak memiliki integritas yang akan resah dengan terbitnya KMK itu. Aturan ini patut disambut demi pembersihan dan penegakan disiplin di tubuh Direktorat Jenderal (Ditjen ) Pajak. ”KMK ini terbit sesuai dengan amanat UU KUP dan akan efektif memberikan efek jera jika dijalankan sungguh-sungguh di Ditjen Pajak,” katanya.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Fuad Rahmany mengatakan, dengan adanya aturan tersebut, ini tidak berarti pemerintah akan main tangkap aparat pajak. Anggapan itu membuat aparat pajak takut. ”Tentu tidak begitu. Ini, kan, hanya pengungkapan dan penegasan kembali Pasal 36 UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan),” ucapnya.

Sebelum ini Mohammad Tjiptardjo (ketika masih menjabat sebagai dirjen pajak sebelum digantikan Fuad Rahmany) mengungkapkan, ada 15.000 aparat Ditjen Pajak di seluruh Indonesia yang rawan melakukan penyelewengan.

Umumnya mereka berada di bidang pemeriksaan, account representative (AR), juru sita, serta penelaah keberatan dan banding. Di bidang pemeriksaan ada 4.500 orang, AR 5.000 orang, dan sisanya adalah juru sita dan penelaah keberatan sehingga jumlahnya mencapai 15.000 orang (Kompas.com, 30/3/2010).

Sumber: Kompas.com

No comments:

Post a Comment