OLEH: RICHARD BURTON
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 23 Februari 2011 memvonis salah Maruli Manurung (mantan atasan Gayus), ketika menangani proses hukum keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (SAT) membuat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) resah.
Keresahan sesungguhnya bukan saja di pihak Kadin dan Ditjen Pajak, tetapi sudah menjadi keresahan di bidang hukum pajak pada khususnya. Oleh karena putusan tersebut, hukum pajak seakan menjadi lumpuh tanpa bisa berdiri tegak sedikit pun.
Dunia hukum (khususnya hukum pajak) yang selama ini menjadi acuan dan literatur dalam mempelajari hukum pajak, seakan menjadi tidak ada artinya, karena “dimandulkan” oleh proses penegakan hukum yang tidak tepat. Hukum pajak sebagai bagian dari hukum administrasi yang memiliki proses hukumnya sendiri, dikalahkan oleh hukum pidana.
Padahal, hukum pajak tegas-tegas menyebutkan bahwa pegawai pajak tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya dilakukan dengan itikad baik dan sesuai perundang-undangan pajak (vide Pasal 36A ayat 5 UU KUP No 16 Tahun 2009).
Keanehan timbul ketika alasan tidak cermat dan tidak teliti yang dituntut jaksa diterima hakim. Kalau kasus Maruli menjadi benar dan menjadi acuan atau yurisprudensi terkait proses hukum administrasi pajak, maka disimpulkan tidak ada artinya ketika literatur menegaskan bahwa hukum pajak adalah hukum administrasi yang tunduk pada proses hukum administrasi.
Keanehan putusan hakim seakan membuat hukum pajak menjadi lumpuh. Hakim seakan-akan tidak memperhatikan ketentuan yang tegas diatur dalam Pasal 36A Ayat (5) UU KUP. Padahal, dari sisi asas hukum lex specialis derogat lex generalis pun, sepantasnya hukum pajak (UU Pajak) menjadi acuan pula.
Ketika Maruli memproses keberatan ketetapan pajak PT Surya Alam Tunggal (PT. SAT), terlihat tidak ada bukti adanya pemberian uang. Tuduhan kepada Maruli alasannya adalah tidak cermat dan tidak teliti. Alasan tidak cermat dan tidak teliti sebenarnya bukan ranah hukum pidana sepanjang tidak ada bukti pemberian uang dan merugikan negara.
Akan tetapi hakim tetap memutus dan menyatakan Maruli bersalah. Tuduhan tidak cermat dan tidak teliti dalam menangani keberatan PT SAT tampaknya menjadi kata paling mudah dituduhkan kepada seseorang. Kalau itu yang terjadi, hukum pajak bukan lagi menjadi bagian dari hukum administrasi, tetapi sudah menjadi bagian dari hukum pidana.
Tuduhan tidak cermat dan tidak teliti bisa menimpa seluruh pegawai pajak. Tidak cermat dan tidak teliti adalah sifat lemah seseorang. Namun, bukan karena kurang cermat dan kurang teliti lalu seseorang dengan mudahnya dipidana.
Sungguh kurang arif bila kurang cermat dan kurang teliti menjadi dasar pertimbangan memidana seseorang. Perbedaan menafsirkan proses pemeriksaan dalam keberatan pajak adalah hal biasa. Jika terjadi tuduhan kurang teliti dan kurang cermat, proses hukum administrasi yang harus dikedepankan untuk menyelesaikannya. Bukan dengan tuduhan pidana.
Administrasi
Hukum pajak adalah hukum administrasi sebagai bagian dari hukum tata usaha negara. Hukum pajak memiliki proses hukumnya sendiri bila terjadi ketidakcermatan dan ketidaktelitian menangani administrasi pajak. Jika petugas pajak (fiskus) kurang teliti dan kurang cermat hingga menimbulkan kerugian bagi Wajib Pajak (WP), WP bisa mengajukan proses hukum administrasi berikutnya yaitu banding ke Pengadilan Pajak..
Pemerintah maupun WP punya kedudukan hukum sama mencari keadilan dan kebenaran material terkait pajak. Hukum material dan hukum formal perpajakan kesemuanya sudah jelas diatur dalam seperangkat paket UU Perpajakan yang telah disepakati bersama.
Harus dijauhkan pandangan salah mencari “target” tertentu kepada fiskus yang memang menjalankan pekerjaannya dengan itikad baik. Lalu, apa ukurannya itikad baik yang dimaksud undang-undang? Penjelasan Pasal 36A Ayat (5) tegas menyebutkan petugas pajak yang melaksanakan tugasnya tidak mencari keuntungan dan tindakan lain berindikasikan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dianggap beritikad baik.
Persoalannya, apakah pasal tersebut menjadi pertimbangan hakim atau tidak? Menilik persoalan keberatan PT SAT yang ditangani Maruli, sepatutnya pasal tersebut dijadikan pertimbangan hakim. Kalau itu terjadi, tuntutan dan vonis hakim pada Maruli harusnya tidaklah salah.
Namun fakta berbicara lain. Oleh karenanya, perlu kajian khusus terkait vonis hakim tersebut. Vonis hakim menjadi pembelajaran amat berharga menganalisis kedudukan hukum pajak dalam sistem hukum Nasional. Kiranya dijauhkan pula pemikiran mencoba melumpuhkan hukum pajak dengan mengriminalisasikan petugas pajak dengan cara seperti itu.
Kalangan akademisi dan praktisi di bidang perpajakan patut memberikan banyak masukan kepada penegak hukum. Nota kesepahaman Ditjen Pajak dengan Kepolisian beberapa waktu lalu, harus memberikan ruang untuk mendapatkan satu visi yang sama memandang pajak dalam konteks hukum pajak. Begitupun dengan pihak Kejaksaan.
Jika tidak demikian, semua petugas pajak akan gamang dalam melaksanakan tugasnya. Dilema dan kegamangan akan merugikan semua pihak. Pajak yang dikelola secara administrasi (termasuk proses pemeriksaan dan keberatan) harus dituntaskan dengan proses hukum administrasi.
Sulit dibayangkan apa jadinya jika petugas pajak tidak mau menuntaskan keberatan WP atas ketetapan pajak yang terbit. WP akan rugi, negara pun akan rugi. Akhirnya, pajak dalam APBN akan terganggu. Terganggunya APBN akan mengganggu percepatan berbagai kegiatan pemerintahan termasuk pembangunan fasilitas publik.
Itulah sebabnya, mulai saat ini perlu menyamakan persepsi melihat hukum pajak dalam arti hukum administrasi yang memiliki jalur hukumnya sendiri, sejauh tidak ada unsur KKN dan unsur keuntungan bagi diri petugas pajak itu sendiri.
Alumnus Magister Hukum FHUI, Dosen FH Universitas Tama Jagakarsa
Sumber: Sinar Harapan, 1 Maret 2011
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 23 Februari 2011 memvonis salah Maruli Manurung (mantan atasan Gayus), ketika menangani proses hukum keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (SAT) membuat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) resah.
Keresahan sesungguhnya bukan saja di pihak Kadin dan Ditjen Pajak, tetapi sudah menjadi keresahan di bidang hukum pajak pada khususnya. Oleh karena putusan tersebut, hukum pajak seakan menjadi lumpuh tanpa bisa berdiri tegak sedikit pun.
Dunia hukum (khususnya hukum pajak) yang selama ini menjadi acuan dan literatur dalam mempelajari hukum pajak, seakan menjadi tidak ada artinya, karena “dimandulkan” oleh proses penegakan hukum yang tidak tepat. Hukum pajak sebagai bagian dari hukum administrasi yang memiliki proses hukumnya sendiri, dikalahkan oleh hukum pidana.
Padahal, hukum pajak tegas-tegas menyebutkan bahwa pegawai pajak tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya dilakukan dengan itikad baik dan sesuai perundang-undangan pajak (vide Pasal 36A ayat 5 UU KUP No 16 Tahun 2009).
Keanehan timbul ketika alasan tidak cermat dan tidak teliti yang dituntut jaksa diterima hakim. Kalau kasus Maruli menjadi benar dan menjadi acuan atau yurisprudensi terkait proses hukum administrasi pajak, maka disimpulkan tidak ada artinya ketika literatur menegaskan bahwa hukum pajak adalah hukum administrasi yang tunduk pada proses hukum administrasi.
Keanehan putusan hakim seakan membuat hukum pajak menjadi lumpuh. Hakim seakan-akan tidak memperhatikan ketentuan yang tegas diatur dalam Pasal 36A Ayat (5) UU KUP. Padahal, dari sisi asas hukum lex specialis derogat lex generalis pun, sepantasnya hukum pajak (UU Pajak) menjadi acuan pula.
Ketika Maruli memproses keberatan ketetapan pajak PT Surya Alam Tunggal (PT. SAT), terlihat tidak ada bukti adanya pemberian uang. Tuduhan kepada Maruli alasannya adalah tidak cermat dan tidak teliti. Alasan tidak cermat dan tidak teliti sebenarnya bukan ranah hukum pidana sepanjang tidak ada bukti pemberian uang dan merugikan negara.
Akan tetapi hakim tetap memutus dan menyatakan Maruli bersalah. Tuduhan tidak cermat dan tidak teliti dalam menangani keberatan PT SAT tampaknya menjadi kata paling mudah dituduhkan kepada seseorang. Kalau itu yang terjadi, hukum pajak bukan lagi menjadi bagian dari hukum administrasi, tetapi sudah menjadi bagian dari hukum pidana.
Tuduhan tidak cermat dan tidak teliti bisa menimpa seluruh pegawai pajak. Tidak cermat dan tidak teliti adalah sifat lemah seseorang. Namun, bukan karena kurang cermat dan kurang teliti lalu seseorang dengan mudahnya dipidana.
Sungguh kurang arif bila kurang cermat dan kurang teliti menjadi dasar pertimbangan memidana seseorang. Perbedaan menafsirkan proses pemeriksaan dalam keberatan pajak adalah hal biasa. Jika terjadi tuduhan kurang teliti dan kurang cermat, proses hukum administrasi yang harus dikedepankan untuk menyelesaikannya. Bukan dengan tuduhan pidana.
Administrasi
Hukum pajak adalah hukum administrasi sebagai bagian dari hukum tata usaha negara. Hukum pajak memiliki proses hukumnya sendiri bila terjadi ketidakcermatan dan ketidaktelitian menangani administrasi pajak. Jika petugas pajak (fiskus) kurang teliti dan kurang cermat hingga menimbulkan kerugian bagi Wajib Pajak (WP), WP bisa mengajukan proses hukum administrasi berikutnya yaitu banding ke Pengadilan Pajak..
Pemerintah maupun WP punya kedudukan hukum sama mencari keadilan dan kebenaran material terkait pajak. Hukum material dan hukum formal perpajakan kesemuanya sudah jelas diatur dalam seperangkat paket UU Perpajakan yang telah disepakati bersama.
Harus dijauhkan pandangan salah mencari “target” tertentu kepada fiskus yang memang menjalankan pekerjaannya dengan itikad baik. Lalu, apa ukurannya itikad baik yang dimaksud undang-undang? Penjelasan Pasal 36A Ayat (5) tegas menyebutkan petugas pajak yang melaksanakan tugasnya tidak mencari keuntungan dan tindakan lain berindikasikan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dianggap beritikad baik.
Persoalannya, apakah pasal tersebut menjadi pertimbangan hakim atau tidak? Menilik persoalan keberatan PT SAT yang ditangani Maruli, sepatutnya pasal tersebut dijadikan pertimbangan hakim. Kalau itu terjadi, tuntutan dan vonis hakim pada Maruli harusnya tidaklah salah.
Namun fakta berbicara lain. Oleh karenanya, perlu kajian khusus terkait vonis hakim tersebut. Vonis hakim menjadi pembelajaran amat berharga menganalisis kedudukan hukum pajak dalam sistem hukum Nasional. Kiranya dijauhkan pula pemikiran mencoba melumpuhkan hukum pajak dengan mengriminalisasikan petugas pajak dengan cara seperti itu.
Kalangan akademisi dan praktisi di bidang perpajakan patut memberikan banyak masukan kepada penegak hukum. Nota kesepahaman Ditjen Pajak dengan Kepolisian beberapa waktu lalu, harus memberikan ruang untuk mendapatkan satu visi yang sama memandang pajak dalam konteks hukum pajak. Begitupun dengan pihak Kejaksaan.
Jika tidak demikian, semua petugas pajak akan gamang dalam melaksanakan tugasnya. Dilema dan kegamangan akan merugikan semua pihak. Pajak yang dikelola secara administrasi (termasuk proses pemeriksaan dan keberatan) harus dituntaskan dengan proses hukum administrasi.
Sulit dibayangkan apa jadinya jika petugas pajak tidak mau menuntaskan keberatan WP atas ketetapan pajak yang terbit. WP akan rugi, negara pun akan rugi. Akhirnya, pajak dalam APBN akan terganggu. Terganggunya APBN akan mengganggu percepatan berbagai kegiatan pemerintahan termasuk pembangunan fasilitas publik.
Itulah sebabnya, mulai saat ini perlu menyamakan persepsi melihat hukum pajak dalam arti hukum administrasi yang memiliki jalur hukumnya sendiri, sejauh tidak ada unsur KKN dan unsur keuntungan bagi diri petugas pajak itu sendiri.
Alumnus Magister Hukum FHUI, Dosen FH Universitas Tama Jagakarsa
Sumber: Sinar Harapan, 1 Maret 2011
No comments:
Post a Comment