Thursday, June 9, 2011

1,8 Juta Wajib Pajak Menunggak

Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mencatat sebanyak 1,8 juta wajib pajak (WP) menunggak pajak. Tunggakan pajak itu kebanyakan berasal dari tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

"Ada 1,8 juta WP, tadinya saya bilang ribuan," ujar Dirjen Pajak Fuad Rachmany saat ditemui di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (8/6/2011) malam.

Menurut Fuad, wajib pajak yang menunggak piutang pajak tersebut kebanyakan menunggak pajak PBB yang jumlahnya tidak terlalu besar.

"Itu kombinasi dari berbagai elemen, ada yang orang pribadi, perusahaan, yg paling banyak malah PBB, jadi yang kecil-kecil tapi banyak, di desa-desa belum bayar, ditagih kan susah," ujarnya.

Di samping itu, lanjut Fuad, ada juga perusahaan-perusahaan yang menunggak pajak, meskipun tunggakannya tidak sampai ratusan miliar rupiah.

"Ratusan miliar gak ada, miliaran saja," kilahnya.

Fuad mengakui terdapat beberapa kesulitan dalam menagih pitang pajak tersebut. Pertama, adanya WP-WP nakal, yang memang sengaja melarikan diri. Selain itu, banyak juga wp yang tidak diketahui lagi keberadaannya.

"Itu kan karena WP-nya nakal-nakal saja gak mau bayar. macam-macam saja alasannya, ada yang kabur, tutup usahanya, jadi gak bisa ditagih. jadi memang bagitu di negeri kita ini. orang bayar utang pajak, musti gak mau bayar," ujarnya.

Ada juga, lanjut Fuad, WP yang keberatan dengan tunggakan pajak yang ditentukan Ditjen Pajak sehingga melakukan banding baik ke Pengadilan Pajak maupun ke Mahkamah Agung. Hal inilah yang menyebabkan tunggakan pajak belum dapat ditagih.

"Jadi kita sudah hitung piutang pajak tapi dia gak mau, dan masih mau berselisih, naik ke pengadilan kan, itu bisa setahun dua tahun. banding, kalah dia di pengadilan pajak, banding lagi ke Mahkamah Agung, PK, itu kan putusannya lama. jadi ini kayak piutang pajak tapi si WP-nya belum menganggap itu piutang. sampai nanti incracht, MA bilang yang menang pemerintah dan bilang itu piutang berarti dia memang kalah, baru kita start penagihan," jelasnya.

Namun, untuk para penunggak pajak yang berada di daerah-daerah yang menunggak PBB, Fuad mengaku tidak jarang biaya penagihan lebih besar dibandingkan nilai tunggakan yang akan ditagihnya. Untuk itu, Fuad menyatakan pihaknya akan fokus pada pengejaran piutang dengan nilai yang besar.

"Tapi ini kan banyak yang kecil-kecil terus ongkos untuk nagihnya lebih mahal dari ngejar orang itu kan, tapi ada juga yang gede-gede, kita akan fokus yang gede-gede saja," ujarnya.

Guna mengurangi piutang pajak tersebut, Fuad menegaskan pihaknya telah memperbaiki sistem dan pengawasannya, serta penegakkan hukum.

"Makanya kita sekarang lagi perbaiki sistemnya, monitoringnya, kita perbaiki untuk mulai nagih satu-satu. penguatan di law enforcement-nya, untuk menagih karena mereka selalu ngeles," tegasnya.

Namun sayangnya, ketika piutang tersebut telah lewat dari 10 tahun, maka pemerintah harus rela untuk melepas piutang itu dari potensi penerimaan negara.

"Kadaluarsa ada aturannya, sampai 10 tahun itu kadaluarsa kalau memang sudah ditagih, tapi orangnya gak tahu kemana lagi, gak ada lagi, sudah ngelang, tempat tinggalnya gak ketahuan lagi di mana, itu kan berarti kalau sudah 10 tahun gak ketagih jadi kadaluarsa, tapi ada proses untuk menentukan kadaluarsa. tapi ada aturannya lagi, gak bisa kita main kadaluarsa, dirjen pajak bilangnya kadaluarsa, gak bisa begitu, tapi menurut aturan ada kadaluarsa tapi harus ada keputusan untuk mengadaluarsakan itu," pungkasnya.

Sebelumnya, BPK melaporkan pemerintah hingga akhir 2010 masih memiliki piutang pajak sebesar Rp70 triliun atau sekitar 70,7% dari total piutang yang pada tahun lalu.

Ketua BPK Hadi Purnomo mengatakan piutang pajak merupakan yang terbesar dari total piutang lainnya. Piutang yang dicatat merupakan salah satu aset pemerintah.

"Piutang merupakan salah satu bagian dalam pemeriksaan kami dan dalam LKPP [laporan keuangan pemerintah pusat] total aset yang diaudit mencapai Rp2.423,69 triliun atau naik Rp300,79 triliun dari 2009 sebesar Rp2.122,9 triliun," ujarnya pekan lalu.

Sumber: detikFinance

No comments:

Post a Comment