Wednesday, December 14, 2011

Wajib Lapor Beli Properti Mewah Hanya di Indonesia

Jakarta - Kewajiban pengembang properti untuk melaporkan transaksi pembelian properti oleh konsumen dengan nilai sedikitnya Rp 500 juta ke Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara lain sejauh ini tak melakukan mekanisme semacam itu untuk mencegah pencucian uang.

Demikian disampaikan oleh Ketua Asosiasi pengembang properti se-Asia Pasifik atau Presiden Federation Internationals des Administrateurs de Bien-Conselis Immobiliers (FIABCI) Teguh Satria kepada detikFinance, Selasa (13/12/2011)

"Setahu saya nggak ada, apalagi jumlah itu sebenarnya terlalu kecil, sebagian besar transaksi properti di atas itu, kecuali rumah subsidi setahu saya nggak ada, saya tidak tahu persis misalnya di Singapura, tapi saya belum pernah mendengar soal informasi serupa dari teman-teman di internasional, ada semacam itu," katanya.

Sebagai pengembang, ia mempertanyakan beberapa hal soal ketentuan tersebut. Menurutnya secara nilai, angka Rp 500 juta terlalu kecil untuk menjadi patokan batas untuk mencegah praktik pencucian uang.

"Kalau cuci uang masak Rp 500 juta, kalau nyuci uang tuh Rp 5 miliar, Rp 10 miliar, seharusnya angka itu memang relatif, kalau Rp 500 juta terlalu kecil untuk pencucian uang," katanya.

Teguh juga menyayangkan jika pengembang menjadi pihak yang harus dibebankan dari kebijakan tersebut. Ia mengilustrasi petugas SPBU tak mungkin menanyakan pengendara mobil yang sedang mengisi BBM dengan mencari tahu asal muasal pembelian mobil tersebut, uangnya dari mana dan sebagainya.

"Masak orang mau masuk isi BBM ditanya mobilnya dari mana, uangnya dari mana. Jangan penjual yang dibebankan, kenapa itu dibebankan kepada pengembang (untuk melapor), kenapa tak dilakukan oleh alat pemerintah," katanya.

Menurutnya seharusnya yang punya tugas melaporkan transaksi semacam itu adalah kantor pertanahan pemerintah. Alasannya semua transaksi properti, jika dilakukan secara resmi semuanya akan bermuara kepada kantor pertanahan.

"Kenapa harus dibebankan oleh pengembang, itu yang menjadi masalah buat kita, sebenarnya aparat pemerintah yang mengambil peran. Soalnya pengembang kalau tidak melaporkan kena pidana," katanya.

Seperti diketahui aturan itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Diatur, pengembang sebagai penyedia barang atau jasa wajib melaporkan transaksi properti bernilai sekurang-kurangnyanya atau di atas Rp 500 juta per unit.

Selain itu, pedagang kendaraan bermotor, pedagang permata dan perhiasan, pedagang barang seni dan antik, atau balai lelang wajib melaporkan ke PPATK. Sanksi bagi yang tidak melaporkan akan kena pidana paling lama lima tahun hukuman penjara atau denda mencapai Rp 1 miliar.

Sumber: detikFinance

No comments:

Post a Comment