Wednesday, April 11, 2012

KPP Pertambangan dan KPP Migas Diharapkan dapat Penuhi Harapan Masyarakat akan Keadilan Bayar Pajak

Wajib Pajak (WP) perusahaan tambang besar yang merupakan hasil Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan kontrak karya kini diadministrasikan dan dipantau secara intensif pemenuhan kewajiban perpajakannya oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pertambangan. "Yang kita masukkan itu baru perusahaan pertambangan yang besar-besar, betul yang PKP2B dan kontrak karya, tetapi kalau yang Izin Usaha Pertambangan (IUP)-nya Gubernur, Bupati, atau Walikota, itu belum, berikutnya nanti, kita lihat dulu. sekarang kan disini juga orangnya terbatas. Kalau perusahaannya kecil, misalnya di Tarakan atau Samarinda kasihan dia," kata Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan (PKP) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Amri Zaman pada acara peresmian KPP Pertambangan dan KPP Migas di di Gambir, Jakarta, 2 April 2012.

Dengan dibentuknya KPP Pertambangan dan KPP Migas, maka DJP dapat semakin menggali penerimaan dari kedua sektor tersebut. Selain itu, dengan dikeluarkannya PP No 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas), dimana jenis biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan PPh, yang dulunya hanya mencakup 5 biaya, sekarang mencakup 21 biaya, maka tunggakan-tunggakan pajak perusahaan migas diharapkan dapat diselesaikan lebih cepat. "Kalau ada tunggakan-tunggakan pajak akan kita selesaikan lebih cepat, dulu pending matters istilahnya. Ketemu BPKP, BP Migas kalau nggak ketemu, pending bisa bertahun-tahun. Ini sekarang 1-2 tahun bisa selesai," jelas Amri.

Langkah DJP dengan membentuk KPP Pertambangan dan KPP Migas juga untuk memenuhi harapan besar masyarakat luas agar DJP tegas dalam menagih tunggakan-tunggakan pajak perusahaan-perusahaan besar pertambangan dan migas. Pembentukan KPP Pertambangan dan KPP Migas diharapkan dapat memenuhi harapan masyarakat Indonesia akan adanya keadilan dalam membayar pajak antara perusahaan-perusahaan besar migas dan pertambangan dengan perusahaan-perusahaan menengah dan kecil di Indonesia yang juga wajib bayar pajak.

Mengutip Rakyat Merdeka (5/4 2012), Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) dan anggota Komisi XI DPR fraksi Golkar, Nusron Wahid, mengemukakan bahwa potensi kerugian pajak negara terbesar berasal dari sektor penambangan, termasuk minyak dan gas (migas), khususnya yang melibatkan korporasi asing. "Potensi itu terjadi karena sampai saat ini peraturan perpajakan pemerintah belum dapat menyentuh ke sana," ucap Nusron.

"DPR mendorong Ditjen Pajak memiliki peraturan yang jelas. Dengan demikian setidaknya negara akan mendapatan pendapatan sebesar Rp 250 triliun setiap tahunnya. Jika itu terealisasi maka pemerintah tidak perlu menaikkan harga ba-han bakar minyak. Selain itu Ditjen Pajak perlu merombak total sistem pajak perusahaan minyak dan gas. karena saat ini masih rancu sehingga memungkinkan beberapa perusahaan migas, khususnya perusahaan migas asing seperti, Exxon Mobil, Chevron, Freeport tidak mau tunduk dengan sistem perpajakan Indonesia. Mereka berdalih karena merujuk pada perjanjian internasional," ujar Nusron.

Pernyataan anggota DPR itu mewakili keprihatinan besar masyarakat banyak, apalagi mengingat pemerintah telah menerbitkan 10.235 Izin Usaha Pertambangan (IUP), namun yang terdaftar sebagai wajib pajak baru 5.800 perusahaan saja.

Mengutip Republika.co.id, Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Thamrin Sihite pernah mengungkapkan bahwa hanya 41 persen izin tambang di Indonesia yang tak bermasalah. "Dari 10.235 pemegang IUP, sebanyak 6.084 izin bermasalah," papar Thamrin. Artinya, hanya 4.151 izin perusahaan pertambangan yang tak bermasalah.

Sumber: pajak.go.id

No comments:

Post a Comment