Tuesday, April 10, 2012

Rencana penambahan objek pajak menuai pro-kontra

JAKARTA. Niat kantor pajak menambah objek pajak baru mulai menuai pro kontra. Pengamat dan pengusaha menyarankan pemerintah untuk melakukan kajian mendalam sebelum memutuskan menambah objek pajak baru, yakni pajak penghasilan atas penghasilan dalam bentuk natura atau kenikmatan lain (fringe benefits). Pemerintah harus memiliki hitungan yang tepat agar kebijakan ini bisa diterima masyarakat.

Darussalam, pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia, menilai, di sejumlah negara seperti di kawasan Eropa, fringe benefits memang telah menjadi objek pajak. Sementara di Indonesia, setiap natura belum menjadi objek pajak.

Oleh sebab itu, Darussalaam menyambut baik rencana Direktorat Jenderal Pajak menetapkan pajak fringe benefits karena sesuai dengan kelaziman di dunia (international best practice). Namun, dia mewanti-wanti pemerintah harus tepat dalam menghitung biaya pengenaan pajak tersebut. "Fringe benefits selama ini bukan objek pajak bagi yang berpenghasilan juga bukan biaya pengurang penghasilan," ujarnya kepada KONTAN, Selasa (10/4).

Seperti diketahui, fringe benefit merupakan kumpulan penghasilan seseorang yang dalam kondisi tertentu terbebas dari pungutan pajak. Undang-Undang No 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menyebutkan, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura yang berhubungan dengan pekerjaan atau penyediaan jasa, termasuk kategori tambahan bernilai ekonomis. Tapi nilai ekonomis ini tidak dalam bentuk uang.

Fasilitas yang masuk kategori natura ini antara lain fasilitas tunjangan kendaraan, fasilitas rumah, dan fasilitas pengobatan. Selama ini, beragam fasilitas itu bukan termasuk objek pajak. "Jadi sepertinya Ditjen Pajak menginginkan semua penghasilan yang diterima dalam bentuk uang maupun fasilitas dalam bentuk bukan uang harus kena pajak," kata Darussalaam.

Meski ide pemerintah ini bisa mendongkrak penerimaan pajak yang lebih besar, kalangan pengusaha masih keberatan. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani, mengatakan, pengusaha menolak penetapan natura sebagai objek pajak.

Haryadi menganggap hal ini sebagai bentuk pengenaan pajak berganda. "Sebetulnya tidak tepat kalau yang sifatnya natura dikenai pajak. Saya tidak bisa membayangkan hal ini," ujarnya.

Dia menjelaskan, fringe benefits selama ini diberikan kepada pekerja sebagai fasilitas untuk menunjang produktivitas mereka. Jadi, fasilitas tersebut belum tentu menjadi penghasilan pekerja. Ia menyarankan agar pemerintah menggali pajak dari pos lain.

Sumber: kontan.co.id

No comments:

Post a Comment