Urusan
siapa pajak itu? Urusan Pemerintah kah, dalam hal ini Direktorat
Jenderal Pajak? Atau urusan Legislatif sebagai pengesah Undang-Undang?
Atau urusan publik sebagai pembayar sekaligus penerima manfaat pajak?
Pertanyaan tersebut menjadi tidak sederhana jawabannya apabila dikaitkan
dengan konsep perpajakan itu sendiri. Seperti kita ketahui bahwa dari
sisi peranan dalam pembiayaan pembangunan negara, pajak amat penting dan
dominan. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Ngara Peruabahan Tahun
2012 penerimaan negara dari sektor perpajakan ditargetkan sebesar
1.013,24 trilyun atau sebesar 74,82% dari total pendapatan negara
sebesar Rp. 1.358.21 trilyun. Peran yang amat penting tersebut secara
kelembagaan memang terletak pada pundak Direktorat Jenderal Pajak selaku
pengelola pemungutan pajak pusat. Namun terkait dengan karakteristik
perpajakan itu sendiri, patutkan kita membebankan seluruh tanggung jawab
perpajakan hanya kepada Ditjen Pajak?
Direktur Jenderal Pajak, A. Fuad Rahmany ketika bertindak sebagai "keynote speaker" dalam
acara Seminar dan Lokakarya Nasional "Penguatan Learning Outcome
Pendidikan Perepajakan dalam rangka Peningkatan Kompetensi SDM Sektor
Perpajakan di Indonesia dan Deklarasi Indonesian Fiscal and Tax
Administration Association (IFTA), menyadur apa yg disampaikan Mar'ie
Muhammad, bahwa dalam bernegara ada iuran yg memangharus ditanggung
bersama oleh warga yg mampu. Pajak ternyata sangat komplek, karena
menyangkut berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu dunia akademik harus
berperan dalam pembentukan karakter dan dasar pengetahuan perpajakan.
Dunia akademik juga harus bertanggungjawab terhadap kualitas, kompetensi
dan kepribadian alumnus yg bekerja di bidang perpajakan.
Integritas menjadi isu penting karena masalah
integritas tidak hanya masalah di Ditjen Pajak, tapi di semua lini
perpajakan seperti konsultan pajak, tax manager, termasuk pemilik
perusahaan yangg cenderung menghindari bayar pajak. Dunia kampus
memegang peranan penting dalam hal ini. Hal tersebut menjadi penting
karena apabila masalah tersebut belum terselesaikan maka Indonesia belum
akan menjadi negara yg maju dan dihormati negara lain. Negara-negara
maju yang berhasil dari sisi ekonomi adalah yang sudah berhasil di
bidang perpajakan, salah satunya adalah tax ratio. Tax ratio Indonesia
tahun 2012 adalah 15,8%, sementara Amerika Serikat 18%. Pertanyaannya
adalah apakah tax ratio itu sudah membanggakan kita? Jawabannya memang
belum. Kenapa tax ratio kita masih rendah? Fuad memperkirakan bahwa tax
ratio kita harusnya bisa 18%. Hal ini jg disebabkan oleh tingkat
kepatuhan yang rendah. Dengan penduduk sebesar 220 juta, jumlah angkatan
kerja 110 jt, perkiraan penduduk bekerja yang penghasilannya di atas
PTKP 60 jt, yang terdaftar sebagai WP OP 19,9 juta. Dari jumlah
terdaftar tersebut yang melaporkan SPT-nya sebanyakt 8,8 juta. Rasio
jumlah pelapor SPT terhadap penduduk yang penghasilannya di atas PTKP
hanya sebesar 14,7%.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah populasi perusahaan
di Indonesia sebanyak 22,6 jt. Dari jumlah tersebut yang punya domisili
tetap sebanyak 12,9 juta. Fuad memperkirakan jumlah perusahaan yang
punya laba 5 jt perusahan. Sementara yang terdaftar sebagai Wajib Pajak
Badan sebanyak 1,9 juta. Dari jumlah terdaftar tersebut yang melaporkan
SPT-nya pada tahun 2012 sebanyak 520 ribu perusahaan, sehingga rasio
perusahaan yang melaporkan SPT terhadap perusahaan yang diperkirakan
mempunyai laba adalah sebesar 104%. Indikator tersebut menunjukkan
betapa masih rendahnya tingkat kesadaran dan kepatuhan perpajakan
Indonesia. Hal tersebut tidak lepas dari rendahnya integritas dari
pemangku kepentingan.
Dalam kaitan dengan pendirian IFTA Fuad
mengharapkan agar lembaga ini mampu menaungi seluruh pihak perpajakan di
Indonesia. Ke depan IFTA diharapkan mampu memainkan peranannya dalam
memastikan integritas alumni yangg akan bekerja dalam bidang perpajakan.
Sumber: pajak.go.id
No comments:
Post a Comment