Thursday, December 20, 2012

Peran Akademisi dalam Menyukseskan Perpajakan di Indonesia

Urusan siapa pajak itu? Urusan Pemerintah kah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak? Atau urusan Legislatif sebagai pengesah Undang-Undang?  Atau urusan publik sebagai pembayar sekaligus penerima manfaat pajak? Pertanyaan tersebut menjadi tidak sederhana jawabannya apabila dikaitkan dengan konsep perpajakan itu sendiri. Seperti kita ketahui bahwa dari sisi peranan dalam pembiayaan pembangunan negara, pajak amat penting dan dominan. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Ngara Peruabahan Tahun 2012 penerimaan negara dari sektor perpajakan ditargetkan sebesar 1.013,24 trilyun atau sebesar 74,82% dari total pendapatan negara sebesar Rp. 1.358.21 trilyun. Peran yang amat penting tersebut secara kelembagaan memang terletak pada pundak Direktorat Jenderal Pajak selaku pengelola pemungutan pajak pusat. Namun terkait dengan karakteristik perpajakan itu sendiri, patutkan kita membebankan seluruh tanggung jawab perpajakan hanya kepada Ditjen Pajak?

Direktur Jenderal Pajak, A. Fuad Rahmany ketika bertindak sebagai "keynote speaker"  dalam acara Seminar dan Lokakarya Nasional "Penguatan Learning Outcome Pendidikan Perepajakan dalam rangka Peningkatan Kompetensi  SDM Sektor Perpajakan di Indonesia dan Deklarasi Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTA), menyadur apa yg disampaikan Mar'ie Muhammad, bahwa dalam bernegara ada iuran yg memangharus ditanggung bersama oleh warga yg mampu. Pajak ternyata sangat komplek, karena menyangkut berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu dunia akademik harus berperan dalam pembentukan karakter dan dasar pengetahuan perpajakan. Dunia akademik juga harus bertanggungjawab terhadap kualitas, kompetensi dan kepribadian alumnus yg bekerja di bidang perpajakan.

Integritas menjadi isu penting karena masalah integritas tidak hanya masalah di Ditjen Pajak, tapi di semua lini perpajakan seperti konsultan pajak, tax manager, termasuk pemilik perusahaan yangg cenderung menghindari bayar pajak. Dunia kampus memegang peranan penting dalam hal ini. Hal tersebut menjadi penting karena apabila masalah tersebut belum terselesaikan maka Indonesia belum akan menjadi negara yg maju dan dihormati negara lain. Negara-negara maju yang berhasil dari sisi ekonomi adalah yang sudah berhasil di bidang perpajakan, salah satunya adalah tax ratio. Tax ratio Indonesia tahun 2012 adalah 15,8%, sementara Amerika Serikat 18%. Pertanyaannya adalah apakah tax ratio itu sudah membanggakan kita? Jawabannya memang belum. Kenapa tax ratio kita masih rendah? Fuad memperkirakan bahwa tax ratio kita harusnya bisa 18%. Hal ini jg disebabkan oleh tingkat kepatuhan yang rendah. Dengan penduduk sebesar 220 juta, jumlah angkatan kerja 110 jt, perkiraan penduduk bekerja yang penghasilannya di atas PTKP 60 jt, yang terdaftar sebagai WP OP 19,9 juta. Dari jumlah terdaftar tersebut yang melaporkan SPT-nya sebanyakt 8,8 juta. Rasio jumlah pelapor SPT terhadap penduduk yang penghasilannya di atas PTKP hanya sebesar 14,7%.
 
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah populasi perusahaan di Indonesia sebanyak 22,6 jt. Dari jumlah tersebut yang punya domisili tetap sebanyak 12,9 juta. Fuad memperkirakan jumlah perusahaan yang  punya laba 5 jt perusahan. Sementara yang terdaftar sebagai Wajib Pajak Badan sebanyak 1,9 juta. Dari jumlah terdaftar tersebut yang melaporkan SPT-nya pada tahun 2012 sebanyak 520 ribu perusahaan, sehingga rasio perusahaan yang melaporkan SPT terhadap perusahaan  yang diperkirakan mempunyai laba adalah sebesar 104%. Indikator tersebut menunjukkan betapa masih rendahnya tingkat kesadaran dan kepatuhan perpajakan Indonesia. Hal tersebut tidak lepas dari rendahnya integritas dari pemangku kepentingan.

Dalam kaitan dengan pendirian IFTA Fuad mengharapkan agar lembaga ini mampu menaungi seluruh pihak perpajakan di Indonesia. Ke depan IFTA diharapkan mampu memainkan peranannya dalam memastikan integritas alumni yangg akan bekerja dalam bidang perpajakan.

Sumber: pajak.go.id

No comments:

Post a Comment