JAKARTA — Intensifikasi dan ekstensifikasi pajak tahun ini menyasar kelompok profesi. Langkah ini merupakan bagian dari pengawasan terhadap wajib pajak orang pribadi nonkaryawan yang ditargetkan Rp 40 triliun. Sejauh ini kontribusi pajak dari kelompok ini masih sangat minim.
Dosen Fakultas Ekonomi Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Agustinus Prasetyantoko di Jakarta, Minggu (1/2), menyatakan, untuk mencapai target, tak ada pilihan lagi bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selain bersungguh-sungguh melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi. Profesi, sebagai salah satu kelompok sasaran, adalah pilihan tepat.
”Realisasi pajak dari karyawan boleh dibilang relatif optimal dan pegawai pajak tidak bekerja apa- apa karena semuanya dihitung dan dipotong oleh perusahaan tempat karyawan bekerja. Fokus pada profesi ini tepat karena selama ini potensinya belum tergali optimal,” kata Prasetyantoko.
Salah satu cara menggali pajak pada kelompok profesi, menurut Prasetyantoko, melalui kerja sama dengan asosiasi profesi. Merujuk basis data asosiasi, intensifikasi pajak bisa dilakukan.
”Dari pajak, ini momentum untuk menata basis data kelompok profesi. Dari aspek yang lebih luas, ini momentum penataan profesi itu sendiri, termasuk, misalnya, peningkatan pelaksanaan etika profesi,” ujarnya.
Target pajak nonmigas yang disepakati Kementerian Keuangan dan Badan Anggaran (Banggar) DPR dalam pembahasan Rancangan APBN Perubahan 2015 adalah Rp 1.244,7 triliun atau tumbuh 38 persen dibandingkan dengan realisasi 2014 yang sebesar Rp 894,5 triliun. Pertumbuhan ini yang tertinggi, setidaknya dalam lima tahun terakhir. Sumbangan minim
Pekan lalu, dalam rapat kerja dengan Banggar DPR, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pajak Mardiasmo menyatakan, strategi mencapai target pajak di antaranya melalui pengawasan wajib pajak orang pribadi (WPOP) nonkaryawan.
Pajak Penghasilan (PPh), sebagai indikatornya, menunjukkan sumbangan dari kelompok ini sangat minim. Berdasarkanrealisasi PPh nonmigas pada 2014 yang sekitar Rp 100 triliun, sumbangan dari kelompok nonkaryawan hanya Rp 4,7 triliun.
Karena itu, DJP berencana melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi WPOP nonkaryawan dengan sasaran kelompok profesi yang memiliki usaha praktik sendiri. Kelompok profesi itu, antara lain notaris, pengacara, dokter, akuntan, konsultan (termasuk konsultan pajak), artis, dan pemilik rumah produksi.
Sasaran lain adalah WPOP pemilik aset bernilai tinggi, seperti mobil mewah, pesawat pribadi, kapal pesiar, properti, surat berharga, rumah kos atau penginapan mewah, dan barang mewah lainnya.
Barang mewah itu, misalnya arloji seharga Rp 50 juta ke atas, tas seharga Rp 15 juta ke atas, dan sepatu Rp 5 juta ke atas. DJP berencana mengenakan tambahan pajak berupa PPh Pasal 22 (impor).
”Akan ada operasi untuk menjaring wajib pajak yang sangat kaya dan barang mewah lainnya,” kata Mardiasmo.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, menyatakan, masih banyak kelompok kaya yang membayar pajak jauh di bawah kewajiban sebenarnya.
Sumber: Harian Kompas
Dosen Fakultas Ekonomi Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Agustinus Prasetyantoko di Jakarta, Minggu (1/2), menyatakan, untuk mencapai target, tak ada pilihan lagi bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selain bersungguh-sungguh melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi. Profesi, sebagai salah satu kelompok sasaran, adalah pilihan tepat.
”Realisasi pajak dari karyawan boleh dibilang relatif optimal dan pegawai pajak tidak bekerja apa- apa karena semuanya dihitung dan dipotong oleh perusahaan tempat karyawan bekerja. Fokus pada profesi ini tepat karena selama ini potensinya belum tergali optimal,” kata Prasetyantoko.
Salah satu cara menggali pajak pada kelompok profesi, menurut Prasetyantoko, melalui kerja sama dengan asosiasi profesi. Merujuk basis data asosiasi, intensifikasi pajak bisa dilakukan.
”Dari pajak, ini momentum untuk menata basis data kelompok profesi. Dari aspek yang lebih luas, ini momentum penataan profesi itu sendiri, termasuk, misalnya, peningkatan pelaksanaan etika profesi,” ujarnya.
Target pajak nonmigas yang disepakati Kementerian Keuangan dan Badan Anggaran (Banggar) DPR dalam pembahasan Rancangan APBN Perubahan 2015 adalah Rp 1.244,7 triliun atau tumbuh 38 persen dibandingkan dengan realisasi 2014 yang sebesar Rp 894,5 triliun. Pertumbuhan ini yang tertinggi, setidaknya dalam lima tahun terakhir. Sumbangan minim
Pekan lalu, dalam rapat kerja dengan Banggar DPR, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pajak Mardiasmo menyatakan, strategi mencapai target pajak di antaranya melalui pengawasan wajib pajak orang pribadi (WPOP) nonkaryawan.
Pajak Penghasilan (PPh), sebagai indikatornya, menunjukkan sumbangan dari kelompok ini sangat minim. Berdasarkanrealisasi PPh nonmigas pada 2014 yang sekitar Rp 100 triliun, sumbangan dari kelompok nonkaryawan hanya Rp 4,7 triliun.
Karena itu, DJP berencana melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi WPOP nonkaryawan dengan sasaran kelompok profesi yang memiliki usaha praktik sendiri. Kelompok profesi itu, antara lain notaris, pengacara, dokter, akuntan, konsultan (termasuk konsultan pajak), artis, dan pemilik rumah produksi.
Sasaran lain adalah WPOP pemilik aset bernilai tinggi, seperti mobil mewah, pesawat pribadi, kapal pesiar, properti, surat berharga, rumah kos atau penginapan mewah, dan barang mewah lainnya.
Barang mewah itu, misalnya arloji seharga Rp 50 juta ke atas, tas seharga Rp 15 juta ke atas, dan sepatu Rp 5 juta ke atas. DJP berencana mengenakan tambahan pajak berupa PPh Pasal 22 (impor).
”Akan ada operasi untuk menjaring wajib pajak yang sangat kaya dan barang mewah lainnya,” kata Mardiasmo.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, menyatakan, masih banyak kelompok kaya yang membayar pajak jauh di bawah kewajiban sebenarnya.
Sumber: Harian Kompas
No comments:
Post a Comment