JAKARTA. Strategi Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian
Keuangan mengejar setoran pajak melalui sejumlah peraturan, mulai menuai
polemik. Salah satunya adalah kebijakan Ditjen Pajak yang menerbitkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-01/PJ/2015
tentang pemotongan pajak deposito yang terbit pada 26 Januari 2015
lalu.
Dalam beleid itu, ditjen pajak mewajibkan perbankan menyerahkan data
bukti potong Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) deposito
dan tabungan milik nasabahnya secara rinci. Misal, nasabah pemilik
deposito 100 deposan, maka yang wajib dilaporkan harus 100 deposan.
Selama ini, perbankan memberikan data bukti potong PPh deposito dan
tabungan tidak menyertakan bukti potong setiap nasabah.
Nah, dengan formulir yang lebih rinci, petugas pajak bisa mengetahui jumlah deposan (lihat infografis).
Para nasabah bank kabarnya mulai ketar-ketir. Mereka merasa tak
nyaman lagi menyimpan uangnya di produk perbankan seperti tabungan dan
deposito. Sumber KONTAN di sebuah bank nasional, mengatakan, Kamis
kemarin (12/2), banyak nasabah bank-nya menarik dana secara tiba-tiba
bernilai miliaran rupiah. Usut punya usut, pemicunya adalah Peraturan
Dirjen Pajak Nomor 01/PJ/2015. "Mereka takut petugas pajak mendatanginya
dan menyuruh merevisi laporan SPT PPh pajak, karena punya kekayaan
lebih," si sumber, kemarin (12/2).
Tanggapan bank
Maklum, masih menurut sumber tersebut, tidak semua nasabah mau
melaporkan duitnya yang ada di deposito ke SPT PPh. Karena itu, dia
menyayangkan kebijakan Ditjen Pajak. Apalagi, sebelumnya tak ada
sosialisasi dari ditjen pajak kepada perbankan dalam menerapkan aturan
ini.
Namun demikian, sejumlah bank yang dihubungi KONTAN menanggapi
peraturan dirjen pajak tersebut dengan beragam. Ada bank yang tidak
khawatir dengan peraturan tersebut, namun ada pula bank yang tidak bisa
menutupi kekhawatirannya.
Sekretaris Perusahaan BCA Inge Setiawati mengatakan para nasabah di
BCA tidak menyampaikan kekhawatirannya. Sampai kemarin nasabah deposito
di BCA dianggap masih cukup loyal. Namun demikian, Inge akan mengecek
kepada para deposannya seputar peraturan pajak.
Tapi bagi Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur Bank OCBC NISP,
peraturan pajak berpotensi meresahkan deposan. Kata Parwati, perlu ada
keselarasan mengenai aturan kewajiban melaporkan bukti pemotongan PPh
giro dan deposito. Pasalnya, aturan ini akan berdampak terhadap bisnis
bank. Terlebih, ada peraturan perbankan harus merahasiakan data nasabah.
"Akan ada dampak psiokologis yang mungkin saja bisa terjadi," kata
Parwati.
Pengamat pajak Yustinus Prastowo mengingatkan pemerintah untuk
berhati-hati dalam membuat peraturan pajak agar tidak kontraproduktif.
Ia setuju, ada potensi pajak yang cukup besar dari wajib pajak di
industri perbankan. Tapi, perlu dipertimbangkan dampak kepercayaan
nasabah terhadap bank. "Peraturan itu bisa membuat deposan tidak nyaman
karena aparat pajak bisa mengetahui simpanannya di bank, ini bisa memicu
pelarian simpanan ke luar negeri," kata Yustinus.
Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito mengakui, ada sejumlah aturan
pajak yang dapat meresahkan masyarakat. Karena itu, ditjen pajak akan
meninjau kembali aturan pajak yang meresahkan masyarakat. "Kita lihat
nanti, apakah kebijakan itu akan kita pending atau diatur lebih lanjut,"
kata Sigit.
Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak No Per-01/PJ/2015
Tentang perubahan atas peraturan direktur jenderal pajak nomor
Per-53/PJ/2009 tentang bentuk formulir Surat Pemberitahuan masa Pajak
Penghasilan (PPh) final pasal 4 ayat 2 (PPh bunga deposito dan
tabungan), formulir Surat Pemberitahuan masa PPh pasal 15 (usaha
pelayaran), pasal 22 (impor barang mewah), pasal 23 (modal/jasa/hadiah),
dan pasal 26 (wajib pajak luar negeri di Indonesia), dan formulir bukti
pemotongan/pemungutannya.
Pasal 1
1. Bentuk formulir Surat Pemberitahuan masa PPh Final Pasal 4 Ayat 2, Surat Pemberitahuan masa PPh Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26, dan Bukti Pemotongan/Pemungutannya diubah. Catatan: Formulir terbaru lebih detil disertai bukti potong pajak atas bunga deposito dan simpanan lainnya.
1. Bentuk formulir Surat Pemberitahuan masa PPh Final Pasal 4 Ayat 2, Surat Pemberitahuan masa PPh Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26, dan Bukti Pemotongan/Pemungutannya diubah. Catatan: Formulir terbaru lebih detil disertai bukti potong pajak atas bunga deposito dan simpanan lainnya.
Pasal 2
1. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 Ayat 2 dapat berbentuk formulir kertas (hard copy) dan dokumen elektronik.
2. Surat Pemberitahuan disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy), bentuk, isi, dan ukuran suratnya harus sesuai dengan formulir baru.
3. Surat Pemberitahuan berbentuk dokumen elektronik wajib digunakan oleh Pemotong yang melakukan pemotongan dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dan 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak;
4. Surat Pemberitahuan disampaikan dalam bentuk dokumen elektronik, Pemotong harus menggunakan aplikasi e-SPT yang telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
1. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 Ayat 2 dapat berbentuk formulir kertas (hard copy) dan dokumen elektronik.
2. Surat Pemberitahuan disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy), bentuk, isi, dan ukuran suratnya harus sesuai dengan formulir baru.
3. Surat Pemberitahuan berbentuk dokumen elektronik wajib digunakan oleh Pemotong yang melakukan pemotongan dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dan 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak;
4. Surat Pemberitahuan disampaikan dalam bentuk dokumen elektronik, Pemotong harus menggunakan aplikasi e-SPT yang telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal 3
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku untuk pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sejak Masa Pajak Maret 2015.
(Sumber: Ditjen Pajak)
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku untuk pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sejak Masa Pajak Maret 2015.
(Sumber: Ditjen Pajak)
Sumber: Harian Kontan
No comments:
Post a Comment