Serang - Direktorat Jendral Pajak (DJP) secara resmi meluncurkan Satuan tugas (Satgas) Penanganan Faktur Pajak Fiktif dengan melibatkan kepolisian. Tujuannya, untuk menangani pengguna faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya atau biasa disebut pajak fiktif.
Direktur Intel dan Pendidikan Dirjen Pajak Yuli Kristiyono mengatakan, satgas ini adalah upaya terobosan DJP melibatkan seluruh kalangan untuk penanganan lebih cepat, sistematis, dan komprehensif atas penerbitan dan atau penggunakaan faktur pajak fiktif.
Ia juga mengatakan, sebenarnya satgas telah dimulai di lima kantor wilayah DJP Jakarta, sejak Juni 2014. Selama semester pertama di tahun 2014, satgas berhasil mengkonfirmasi 499 wajib pajak dari lima Kanwil Pajak di Jakarta.
Dari jumlah tersebut, 80,76 persen, atau 403 wajib pajak mengakui perbuatannya telah menggunakan faktur pajak fiktif. Sedangkan sisanya menyanggah atau dilanjutkan proses selanjutnya, seperti proses pidana.
Sementara, dari angka Rp. 934,21 miliar nilai total faktur pajak yang diklarifikasi, sebesar 76,54 persen atau Rp 715.02 miliar telah terklarifikasi dan disetujui oleh wajib pajak untuk dibayar.
“Atas dasar itulah, kegiatan Satgas diperluas wilayah kerjanya di Kanwil DJP di luar Jakarta, dan dimulai dari Kanwil DJP Banten. Kami harapkan, dalam beberapa tahun ke depan seluruh wilayah kerja di pulau Jawa dapat kami jangkau dengan Satgas ini,” katanya, Selasa 21 April 2015.
Pada dasarnya, penggunaan dan penerbitan faktur pajak fiktif merupakan perbuatan pidana yang tertuang dalam undang-undang perpajakan pasal 13a, dengan ancaman penjara maksimal enam tahun dan denda maksimal empat empat kali jumlah pajak terutang yang tidak dibayar atau kurang.
“Tapi DJP mengupayakan penanganan secara persuasif melalui klarifikasi, dimana pengusaha kena pajak yang terindikasi sebagai pengguna faktur pajak fiktif disarankan untuk kooperatif dan membayar kewajibannya. Jadi pidana itu jika memang sudah membandel,” katanya.
Sementara, target selanjutnya, Yuli mengatakan, setelah Banten satgas akan mencakup Jawa Barat II yang masih berdekatan dengan Jakarta.
Ditempat yang sama, Kepala Kanwil Banten Catur Rini Widosari mengatakan, dipilihnya Banten karena potensi penggunaan faktur fiktif sangat tinggi.
“Di Banten, nilai faktur yang digunakan oleh perusahaan itu sebesar Rp 750 m, saya lupa berapa jumlah perusahaannya dan tersebarnya dimana saja,” katanya.
Perusahaan-perusahaan tersebut tidak ada transaksinya, tiba-tiba faktur muncul dan digunakan sebagai pajak pemasukan. Pajak pemasukan itulah yang kemudian digunakan sebagai pengurang kewajiban perpajaknya, khususnya di PPN.
“Kalau pengurangannya begitu besar, ujungnya di restitusi,” jelasnya.
Restitusi itulah yang kemudian membuat Uang Negara keluar. Hal tersebut yang diusahakan untuk dicegah oleh DJP, jangan sampai mengeluarkan uang-uang Negara yang tidak harusnya keluar.
Sedangkan dari sektornya, Catur menjelaskan banyak jenisnya, mulai dari eksportir, manufacture, dan lainnya.
“Kalau penerbitnya nggak bisa diklarifikasi. Karena nggak ada penerbit dan nggak ada apa-apanya. Intinya dia ingin mengurangi kewajiban pajaknya,” kata Catur.
Sumber: inilahbanten.com
Direktur Intel dan Pendidikan Dirjen Pajak Yuli Kristiyono mengatakan, satgas ini adalah upaya terobosan DJP melibatkan seluruh kalangan untuk penanganan lebih cepat, sistematis, dan komprehensif atas penerbitan dan atau penggunakaan faktur pajak fiktif.
Ia juga mengatakan, sebenarnya satgas telah dimulai di lima kantor wilayah DJP Jakarta, sejak Juni 2014. Selama semester pertama di tahun 2014, satgas berhasil mengkonfirmasi 499 wajib pajak dari lima Kanwil Pajak di Jakarta.
Dari jumlah tersebut, 80,76 persen, atau 403 wajib pajak mengakui perbuatannya telah menggunakan faktur pajak fiktif. Sedangkan sisanya menyanggah atau dilanjutkan proses selanjutnya, seperti proses pidana.
Sementara, dari angka Rp. 934,21 miliar nilai total faktur pajak yang diklarifikasi, sebesar 76,54 persen atau Rp 715.02 miliar telah terklarifikasi dan disetujui oleh wajib pajak untuk dibayar.
“Atas dasar itulah, kegiatan Satgas diperluas wilayah kerjanya di Kanwil DJP di luar Jakarta, dan dimulai dari Kanwil DJP Banten. Kami harapkan, dalam beberapa tahun ke depan seluruh wilayah kerja di pulau Jawa dapat kami jangkau dengan Satgas ini,” katanya, Selasa 21 April 2015.
Pada dasarnya, penggunaan dan penerbitan faktur pajak fiktif merupakan perbuatan pidana yang tertuang dalam undang-undang perpajakan pasal 13a, dengan ancaman penjara maksimal enam tahun dan denda maksimal empat empat kali jumlah pajak terutang yang tidak dibayar atau kurang.
“Tapi DJP mengupayakan penanganan secara persuasif melalui klarifikasi, dimana pengusaha kena pajak yang terindikasi sebagai pengguna faktur pajak fiktif disarankan untuk kooperatif dan membayar kewajibannya. Jadi pidana itu jika memang sudah membandel,” katanya.
Sementara, target selanjutnya, Yuli mengatakan, setelah Banten satgas akan mencakup Jawa Barat II yang masih berdekatan dengan Jakarta.
Ditempat yang sama, Kepala Kanwil Banten Catur Rini Widosari mengatakan, dipilihnya Banten karena potensi penggunaan faktur fiktif sangat tinggi.
“Di Banten, nilai faktur yang digunakan oleh perusahaan itu sebesar Rp 750 m, saya lupa berapa jumlah perusahaannya dan tersebarnya dimana saja,” katanya.
Perusahaan-perusahaan tersebut tidak ada transaksinya, tiba-tiba faktur muncul dan digunakan sebagai pajak pemasukan. Pajak pemasukan itulah yang kemudian digunakan sebagai pengurang kewajiban perpajaknya, khususnya di PPN.
“Kalau pengurangannya begitu besar, ujungnya di restitusi,” jelasnya.
Restitusi itulah yang kemudian membuat Uang Negara keluar. Hal tersebut yang diusahakan untuk dicegah oleh DJP, jangan sampai mengeluarkan uang-uang Negara yang tidak harusnya keluar.
Sedangkan dari sektornya, Catur menjelaskan banyak jenisnya, mulai dari eksportir, manufacture, dan lainnya.
“Kalau penerbitnya nggak bisa diklarifikasi. Karena nggak ada penerbit dan nggak ada apa-apanya. Intinya dia ingin mengurangi kewajiban pajaknya,” kata Catur.
Sumber: inilahbanten.com
No comments:
Post a Comment